كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ PECINTA RASULULLAH.COM menyajikan artikel-artikel faktual sebagai sarana berbagi ilmu dan informasi demi kelestarian aswaja di belahan bumi manapun Terimakasih atas kunjungannya semoga semua artikel di blog ini dapat bermanfaat untuk mempererat ukhwuah islamiyah antar aswaja dan jangan lupa kembali lagi yah

Senin, 03 Desember 2012

Ini adalah Makamnya Sayyidah Maimunah binti Harits radhiyallahu anha




Tidak semua orang pernah kesini,
Tidak semua penduduk Saudi kesini,
Tidak semua para mukimin Indonesia kesini,
Tidak semua Para jama’ah haji kesini,
Tidak pula semua jama’ah umrah kesini, walau itu hanya melihat atau mampir.


Alhamdulillah saya menyempatkan diri menziarahinya sepulang dari KJRI Jeddah usai mengurusi perpanjangan paspor.

Ini adalah Makamnya Sayyidah Maimunah binti Harits radhiyallahu anha, istri dari pada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.


Dalam sejarah singkat yang saya ketahui, beliau adalah wanita yang terakhir yang di nikahi oleh Baginda Nabi saw setelah umrah qodlo’ pada bulan dzulqo’dah tahun 7 H.


Sayyidah Maimunah ini diberi julukan oleh Nabi dengan sebutan “BARROH”.


Beliau ini adiknya istrinya paman Nabi Sayyidina Abbas ra, yaitu saudaranya Ummu Fadhl dan beliau ini juga bibinya Khalid bin walid.


Hari pertama sakitnya Nabi yang membuat beliau meninggal dunia adalah terjadi di rumah beliau ini namun kemudian dipindahkan ke rumah Sayyidah Aisyah ra sesuai permintaan Nabi sendiri.


Sayyidah Maimunah ra ini meninggal dunia pada tahun 51 H dalam usia 80 tahun di tempat dimana dulu beliau di nikahkan dengan Nabi. Makam beliau ini juga ditempat tersebut, yaitu di desa saraf atau sekarang dikenal dengan Jumum, yakni beberapa kilo meter dari batas luar tanah suci.


Makam beliau ini sekarang berada di pinggir jalan jalur Makkah Madinah.


Selebihnya bisa anda tanyakan ke guru anda atau ke google wa akhwatiha.


Demekian baba naheel melaporkan.


Sumber: http://goo.gl/EdntU

Baca Selanjutnya

Syarat untuk Menjadi Imam Mujtahid

http://img197.imageshack.us/img197/5058/novelsejarah4mazhab.jpg


Syarat muthlak bagi orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, ialah pandai, sekali lagi pandai. Tidak mungkin si Awam akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau si Awam mencoba hendak menjadi Mujtahid maka akan rusaklah agama, akan hancrulah agama dan akan porak porandalah hukum-hukum agama Islam yang suci. Ini masuk akal. Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam Negara Hukum ? Sudah pasti tidak. Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi Hakim, maka hukum itu akan diinjak-injaknya dan ia akan menjalankan "Hukum Rimba", yang berdasarkan siapa kuat siapa di atas.

Di dalam hukum Islam juga begitu. Setiap orang yang hendak meniadi Imam Mujtahid, yaitu orang-orang yang bertugas mengeluarkan hukum dari dalam Al-Quran dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat.

Syarat-syarat itu adalah :

1. Mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya karena Al-Quran dan Hadits, diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab yang fasih, yang mutunya tinggi dan pengertiannya luas dan dalam.
Allah berfirman :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Artinya : "Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” (QS Yusuf : 2)
Allah berfirman pula:

وَكَذَ‌ٰلِكَ أَنزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا وَاقٍ

Artinya : "Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab . Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS Ar Ra'd : 37)

Orang yang tidak belaiar bahasa Arab tidak mungkin akan dapat menggali hukum-hukum dalam Al-Quran. Ini logis. Karena itu tidak mungkin ia menjadi Imam Mujtahid. Jadi ia harus mengikuti salah satu Imam, tidak boleh tidak. Al-Quran itu dalam bahasa yang fasih dan bermutu tinggi, tidak sama dengan bahasa pasaran atau bahasa-bahasa daerah yang sekarang banyak terpakai di daerah-daetah negeri Arab, atau katakanlah tidak sama dengan "bahasa Arab Tanah Abang". Orang Arab sendiri yang tidak mendalami bahasa Arab dan tidak belajar undang-undang bahasa Arab, tidak akan bisa menjadi Imam Mujtahid karena ia tidak akan pandai menggali isi Al-Quran sedalam-dalamnya.

Jadi hatus dipelajari semahir-mahirnya, bukan saja arti bahasa, tetapi ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa, seumpanya Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi', Balaghah, ‘Arudh dan Qawafi karena dengan ilmu-ilmu itu baru bisa diketahui yang mana dalam ayat ayat itu yang sifatnya umum, yang sifatnya khusus, yang suruhan, yang larangan, yang pertanyaaan, yang nash (nyata), yang majaz (tersirat), yang muthlaq, yang muqayad, yang berita, yang hikayat dan lain-lain sebagainya.
Di dalam Al-Quran ada firman yang pada lahirnya Nampak “menyuruh", tetapi pada hakikatnya “melarang” seumpama firman Allah :

إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا ۗ أَفَمَن يُلْقَىٰ فِي النَّارِ خَيْرٌ أَم مَّن يَأْتِي آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Fushilat : 40)

Kalau kita tidak mengetahui ilmu ma'ni maka akan tersesatlah kita dalam memberikan arti kepada ayat ini karena bisa difahamkan bahwa Allah mengizinkan dan bahkan menyuruh supaya orang mengerjakan apa yang disukainya saja, biar pekerjaan jahat sekali pun. Padahal Allah dalam ayat ini bukan menyuruh, tetapi melarang dan mengecam supaya orang jangan berbuat sesuka hatinya saja dengan tidak memikirkan halal dan haramnnya.
Jadi ayat ini berarti larangan, bukan suruhan. Seperti halnya seorang bapak yang bosan atas kelakuan anaknya yang nakal, lantas berkata, "Sesuka hatimulah, buatlah apa yangkamu sukai!”

Contoh yang lain ada lagi,yaitu di dalam Al-Quran ada ayat yang tidak menurut bahwasanya, yaitu Allah berfirman :

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍكُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ  وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Artinya : "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.". (Ar Rahman : 26-27)

Adapun arti wajah dalam bahasa Arab adalah “muka”. Jadi menurut ayat ini, sekalian yang ada akan lenyap atau binasa sedangkan yang kekal hanya "muka" Tuhan. Orang-orang yang mengetahui sastra Arab, ahli Bayan dan Ma'ni tentu mengetahui bahwa yang dimaksud dengan wajah dalam ayat ini adalah"dzat" Tuhan bukan "muka" Tuhan. Maka arti yang sebenarnya dari ayat ini adalah : "Sekalian yang ada akan lenyap/binasa, kecuali "dzat" Tuhan. Kesimpulan dapat dikatakan bahwa orang yang ingin menjadi Imam Mujtahid harus mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya, kalau tidak ia akan berbuat banyak kesalahan.

Ada orang bertanya, bahwa di Indonesia sekarang sudah banyak kitab-kitab terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang disusun dan dikarang oleh penterjemah bangsa Indonesia. Sudah bolehkah kita menggali hukum fiqih dari dalam Al-Quran, sedang kita hanya baru mengetahui arti ayat-ayat Al-Quran dari kitab-kitab teriemahan itu ? Memang sudah ada beberapa kitab terjemahan Al-Quran, dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan tegas pertanyaan di atas dapat dijawab dengan "Belum bisa", karena:

a. Ada kemungkinan terjemahan itu tersalah atau salah, sedang kita tidak mengetahui karena kita tidak mempunyat alat untuk mengoreksi kesalahan itu.
b. Kalau kita hanya mengikut saja kepada terjemahan pengarang-pengarang itu, maka artinya kita masih bertaqlid, belum Mujtahid.
c. Dalam kenyataannya terjemahan-terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang sudah ada di Indonesia, terdapat perbedaan-perbedaan arti satu sama lain dari satu ayat. Masing-masingnya memberikan arti menurut pendapatnya saja. Misalnya perkataan "laamas-tum" dalam Surat Nisa', ayat ke 43, terdapat terjemahan yang berlain-lainan.

Dalam terjemahan A berbunyi : "Atau kamu telah menyentuh perempuan" . (halaman 125).
Dalam terjemahan B berbunyi : "Atau kamu sentuh perempuan-perempuan". (halaman 159).
Dalam terjemahan C berbunyi : 'Atau kamu sudah campur dengan isterimu". (halaman 71).
Dalam terjemahan D berbunyi: "Atau kamu campur dengan perempuan". (halaman 119).

Ma'af, di sini tidak dituliskan nama pengarang dari kitab terjemahan Al-Quran itu, sebab pengarang-pengarangnya ada yang masih hidup dan mungkin merasa keberatan kalau namanya dicantumkan di sini.

Ayat ini ialah tentang soal yang “membatalkan wudhu''. Perhatikanlah baik-baik dengan tenang! Dengan keempat terjemahan itu, terdapat perbedaan-perbedaan arti yang juga dapat menimbulkan perbedaan-perbedaan hukum yang keluar dari ayat ini.

Menurut terjemahan A, berarti bahwa sekalian persentuhan dengan perempuan membatalkan wudhu’. Tidak perduli apakah perempuan itu ibu, saudara, anak, mertua dan lain-lain sebagainya, karena dalam terjemahan itu hanya dikatakan : “atau kamu telah menyentuh perempuan".

Menurut terjemahan B, timbul hukum bahwa bersentuh dengan seorang perempuan tidak membatalkan wudhu'. Yang membatalkan ialah bersentuhan dengan banyak perempuan, karena dalam terjemahannya dlkatakan : “atau kamu sentuh perempuan-perempuan".

Menurut terjemahan C, menimbulkan pengertian bahwa bercampur dengan isteri membatalkan wudhu'. Apakah arti "bercampur” dalam bahasa Indonesia ? Artinya ialah bergaul atau berkumpul. Nah ! Menurut terjemahan C, bergaul saja dengan isteri sudah membatalkan wudhu’, tetapi bergaul dengan perempuan lain tidak membatalkan wudhu’, karena terjemahannya "atau kamu sudah campur dengan isterimu”. Tetapi kalau yang dimaksudkan dengan "bercampur" itu bersetubuh dengan isteri, maka yang membatalkan wudhu’, hanya bersetubuh dengan isteri. Adapun bersetubuh dengan orang lain tidak membatalkan wudhu’. Apakah begitu maksudnya ?

Menurut terjemahan D menimbulkan pengertian sama dengan terjemahan C. Akan tetapi bagi terjemahan D adalah bercampur dengan perempuan, bukan dengan isteri saja seperti terjemahan C.

Kesimpulannya, belumlah mungkin orang menggali hukum fiqih hanya bersandarkan dan berpedoman kepada arti ayat yang diberikan oleh pengarang-pengarang terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia. Sekali lagi ditekankan bahwa syarat mutlaq bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui bahasa Arab dalam segala seginya, karena Al Quran dan Hadits itu ditulis atau diturunkan oleh Tuhan dalam bahasa Arab yang mutunya sangat tinggi.

d. Harus diketahui, bahwa ayat ayat AL-Quran itu ditafsirkan artinya dengan hadits-hadits Nabi, atau dengan kata lain bahwa tafsiran Al-Quran haruslah menurut yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh semaunya saja menurut kemauan kita. Karena itu adalah syarat muthlaq bagi setiap Imam Mujtahid mengetahui seluruh hadits yang bersangkutan dengan ayat itu, yaitu hadits-hadits yang termaktub dalam kitab-kitab hadits yang 6 yaitu, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nisai dan Ibnu Majah. Dus, tidak cukup kalau baru hanya mengetahui tafsir Al-Quran dari Kitab-kitat Tafsir atau Kitab-kitab Terjemahan bahasa Indonesia itu.

2. Syarat yang kedua bagi Imam Mujtahid ialah mahir dalam hukum-hukum Al-Quran, yakni diketahui lebih dahulu mana di antara ayat Al-Quran itu yang umum sifatnya, yang khusus, yang mujmal, yang mubayan, yang muthlaq, yang muqayad, yang zahir, yang nash, yang nasikh, yang mansukh, yang muhakkam yang mutasyabih dan lain-lain sebagainya. Untuk mengetahui hal ini semuanya calon Imam Mujtahid harus mengerti Ilmu ushul Fiqih, kalau tidak, tidaklah mungkin menjadi Imam Mujtahid, tetapi harus menjadi orang bertaqlid saja kepada salah seorang Imam Mujtahid.
Memang berat syarat-syarat ini, karena seperti yang dikatakan di atas, bahwa jabatan Imam Mujahid itu adalah jabatan yang sangat tinggi, karena ia adalah sebagai pengganti Rasulullah dalam membentuk hukum agama .

3. Syarat yang ketiga bagi lmam Mujtahid ialah mengerti akan isi dan maksud Al-Quran keseluruhannya, ke 30 juznya. Pada ketika ia berijtihad dalam sesuatu masalah semua isi dari Al-Quran terbayang di kepalanya, sehingga tidak menimbulkan hukum yang bertentangan dengan salah satu dai ayat-ayat Al-Quran itu. Imam Syafi'i rahimahullah dalam usia 9 tahun telah hafal keseluruhan ayat Al-Quran di luar kepala, begitu juga Imam Hanafi telah hafal seluruh ayat Al-Quran di luar kepala semasa beliau masih kecil. Adalah tidak mungkin bagi seseorang Imam Mujtahid kalau ia hanya mengetahui 10, 20 atau 100 ayat saja, karena ayat-ayat Al-Quran sangkut-bersangkut antara satu dengan yang lainnya.
Untuk menggambarkan kesulitannya, baiklah kami nukilkan perkataan Imam Ibnul Arabi al Maliki, pengarang kitab Tafsir "Ahkamul Quran", bahwa gurunya mengatakan kepadanya, bahwa dalam surat Al Baqarah saja terdapat seribu perintah, seribu larangan, seribu hukum, seribu berita (Ahkamul Quran jilid
I, halaman 8).

4. Syarat yang ke-empat bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui 'Asbabun-nuzul" bagi setiap ayat itu, yakni mengetahui sebab maka ayat-ayat itu diturunkan. Seperti dimaklumi bahwa ayat-ayat suci Al-Quran bukan diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur selama 23 (duapuluh tiga) tahun.
Setiap ayat itu diturunkan karena ada perlunya, umpamanya untuk menjawab suatu pertanyaan dari rakyat, untuk mengalahkan sesuatu hujjah musuh, untuk suatu kabar yang diperlukan dan lain-lain sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran itu. Ini dinamai “Asbabun-nuzul", yaitu sebab-sebabnya turun. Setiap Imam Muitahid harus mengetahui Asbabun-nuzul, kalau tidak maka ia akan tersalah dalam mengartikan ayat-ayat itu.
Sebagai contoh dikemukakan, peristiwa-peristiwa di bawah ini:

a. Tersebut dalam Kitab. "Ahkamul Quran", juz l,halaman 28, bahwa dulu ada orang yang tersalah dalam mengartikan ayat, karena tidak tahu sebabnya maka ayat iru dirurunkan. Mereka membolehkan minum arak berdalilkan ayat Al Quran yang tersebut dalam surat Al Maidah, ayat 93 begini :

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوا وَّآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوا وَّآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوا وَّأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya : "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS AI Maidah : 93).

Nah, kata mereka, ayat ini membolehkan memakan atau meminum apa saja, kalau sudah mu'min dan sudah beramal saleh. Mereka tersalah dalam memberi arti kepada ayat ini karena tidak mengetahui “asbabun-nuzul", sebab-sebabnya maka ayat ini diturunkan.

Ayat ini justru untuk melarang minum arak, bukan untuk membolehkannya. Ceritanya begini : Dulu orang-orang Islam banyak minum arak, yakni sebelum dilarang. Kemudian turun ayat tersebut dalam surat Ar Baqarah : 219, yang menyuruh berhenti meminum arak itu. Sekumpulan orang Islam bertanya kepada Rasulullah : "Bagaimana-halnya kami yang sudah banyak minum arak dulu itu, yakni sebelum dilarang?” Maka turunlah ayat Al Maidah 93 ini, bahwa yang telah termakan atau terminum yang dulu-dulu itu tidak berdosa asal sekarang sudah iman dan sudah beramal saleh. Maka ayat ini turunnya untuk mencukupkan keterangan larangan, bukan untuk membolehkan apa saja untuk dimakan atau diminum.
b. Allah berfirman :

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya : "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS AI Baqarah : 115).

Kalau menurut lahir atau lafazh ayat ini saja bisa timbul hukum, bahwa menghadap kiblat dalam sembahyang tidak wajib, karena wajah Allah ada di mana-mana. Pengertian semacam itu salah. Ummat Islam dari dulu sampai sekarang telah ijma' (sepakat) mewajibkan menghadap kiblat dalam shalat yang lima waktu dan shalat yang sunnat yang lain. Kesalahan pengertian ayat itu timbul karena tidak mengetahui 'Asbabun-nuzul" yaitu sebab maka ayat itu diturunkan.

Sebab turunnya ayat ini adalah :

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membutuhkan banyak shalat sunnat, tetapi beliau dalam perjalanan mengendarai onta dari Mekkah ke Madinah. Pada ketika itu turun ayat tadi yang memberi izin untuk menghadap kemana saja pada ketika shalat sunnat dalam perjalanan di atas kendaraan. Jadi ayat ini khusus untuk shalat sunnat dalam perjalanan. Seseorang berlayar dengan kapal api, atau terbang dengan pesawat udara, atau berjalan jauh dengan mobil, sedang ia akan shalat sunnat. Pada ketika itu ia boleh menghadap dalam shalat kemana kendaraannya menghadap karena wajah Allah itu ada di mana-mana. Inilah arti ayat ini yang sebenarnya,yang mana kalau tidak tahu kisah ini, niscaya akan tersalah dalam menggali hukum dalam ayat ini.

Kesimpulannya : Ilmu Asbabun-nuzul adalah syarat bagi seseorang yang menjadi Imam Muitahid!

5. Syarat yang kelima bagi seseorang Imam Mujtahid ialah mengetahui hadits-hadits Nabi, sekurangnya apa yang telah termatub dalam Kitab-kitab Hadits yang 6, yaitu: 1. Sahih Bukhari, 2. Sahih Muslim. 3. Sahih Tirmidzi. 4. Sunan Nisai, 5. Sunan Abi Daud dan ke 6. Sunan Ibnu Majah. Dan sebaiknya mengerti juga hadits-hadits yang tersebut dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Mustadrak Hakim, Sahih Ibnu Hibban, SahihTabhrani, Sunan Daruquthni dan lain sebagainya.

Hal ini sangat perlu, karena hukum-hukum fiqih ini bersumber kepada Quran dan Hadits, bukan kepada Quran saja atau kepada aqal saja, atau pendapat manusia saja. Karena itu setiap Imam Mujtahid harus mengerti Quran dan Hadits.

6. Syarat yang ke-enam bagi setiap lmam Mujtahid ialah berkesanggupan menyisihkan mana hadits-hadits yang sahih mana yang maudhu' (yang dibuat-buat oleh musuh-musuh Islam), mana hadits yang kuat, dan mana hadits yang lemah. Hal ini dapat diketahui dengan mengetahui pula si"Rawi” yakni keadaannya orang yang meriwayatkan hadits itu. Ini penting, kalau tidak, kita akan terjerumus kepada mengambil hadits-hadits yang palsu, yang bercacat, yang lemah dan lain-lain sebagainya.

7. Mengerti dan tahu pula fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang terdahulu dalam masalah-masalah yang dihadapi. Ini sangat perlu, agar setiap Imam Mujtahid tidak terjerumus kepada mengeluarkan hukum yang melawan ijma', yaitu kesepakatan Imam-imam Mujtahid dalam suatu zaman. Oleh karena itu sekurangnya ia harus membaca dan memahami kitab-kitab karangan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam syafi’i, dan Imam Hanbali, yang semuanya bisa didapat waktu sekarang, karena sudah banyak dicetak pada percetakan-percetakan di Mesir.

Demikianlah diantaranya syarat-syarat yuridis bagi seorang Imam Mujtahid, di samping ada pula syarat-syarat yang lain, yaitu shaleh dan bertaqwa kepada Allah, berakhlak yang tinggi, tidak sombong dan tidak takabbur, tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang keji yang dilarang oleh agama Islam.

Nah, cobalah ukur diri kita masing-masing, apakah kita sudah mempunyai syarat yang cukup untuk menjadi imam Mujtahid atau belum. Kalau sudah cukup, dan benar-benar cukup, silahkanlah menjadi Imam Mujtahid dan tampilah kemuka secara terus terang mengatakan :"INILAH IJTIHAD SAYA”. Ummat yang banyak ini, yang kebanyakan sudah cerdas pula, tentu akan member nilai, apakah benar-benar orang ini sudah berhak menjadi Imam Mujtahid, ataukah masih “taqlid” kepada ulama-ulama lain.

Akan tetapi, kalau umpamanya belum memenuhi syarat di atas janganlah buru-buru, belajarlah dulu sampai matang. Ketika itu ikut saja salah seorang dari Imam Mujtahid yang terdahulu, umpamanya mengikuti Imam Syafi'i RA, misalnya.

Mengikuti Imam Mujtahid ini pada hakekatnya adalah mengikut Quran dan Hadits dalam arti yang sebenarnya, kata Syeikh Yusuf Dajwi, seorang yang pernah menjadi guru besar Universitas AI Azhar di Mesir.



Baca Selanjutnya

Minggu, 02 Desember 2012

ILMU HATI ( TASSAWUF )



Apabila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyedari akan perjalanan hal-hal ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesedaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa dekatnya Allah dengannya. Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahawa Allah sentiasa mengawasinya. Allah melihat segala gerak-gerinya, mendengar pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang Mukmin yang cermat dan berwaspada.

Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat Mukmin ialah:

1: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah
2: Hati tidak cenderung kepada harta, berasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.
3: Bertaubat dengan sebenarnya ( taubat nasuha ) dan tidak kembali lagi kepada kejahatan.
4: Rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah
5: Kehalusan kerohaniannya membuatnya berasa malu kepada Allah dan merendah diri kepada-Nya.


Hal diatas merujuk pada Firman Allah :

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat ( nanti ) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan ( yang benar ).” ( QS Al Isra 17 : 72 )

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” ( al Hajj 22 : 46 )

Kita berkewajipan memelihara hati, malah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam telah memperingatkan kita melalui sebuah hadis Baginda: “Ketahuilah bahawa dalam jasad manusia ada seketul daging ( segumpal darah ), jika baik daging tersebut, maka baiklah seluruh anggota dan jika rusak daging tersebut, maka rusaklah seluruh anggota, itulah hati.” ( Riwayat Shahih Bukhari dan Muslim ).

Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Shakhr radhiyallahu’anhu, dia mengatakan bahwa Rasulllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak melihat fisik dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat hati [ dan amal perbuatan ] kalian.” ( HR. Muslim no.2564 )

Hati merupakan tempat pandangan Allah. Hati diibaratkan sebagai pakaian yang kita gunakan. Kita akan selalu membersihkan pakaian yang kita gunakan lantaran akan dilihat oleh orang lain. Bagaimana pun juga, orang akan menilai kita dari pakaian yang kita gunakan.

Hati orang yang bersih, tercermin dari bersihnya jasad. Bagaimana pun juga, di dalam tubuh setiap manusia, terdapat segumpalan daging yang bernama hati. Bersih atau kotornya hati, menentukan sifat manusia yang memilikinya.

Begitu pun dengan hati. Allah akan melihat siapa kita melalui hati. Untuk itu, senantiasalah menjaga hati agar selalu bersih seperti kita menjaga pakaian kita agar selalu indah dipandang orang lain.


TASSAWUF ibarat kawah candradimuka yg membentuk jiwa kita matang, matang dlm segala hal..hatinya matang, pikirannya matang, karena hatinya Jernih dlm hatinya diliputi MAHABATULLAH cinta dan Rindu kepada ALLAH.

Jika dlm hati seorang insan telah diliputi cinta dan rindu kepada ALLAH maka hatinya bersih dari segala macam penyakit, hatinya jernih dan mantap, jika hati bersih dan jernih maka akan membawa mengantarkan diri kita pada manisnya Iman kepada ALLAH SWT.


INI BUKTI TASSAWUF dan KARAMAH TELAH ADA PADA ZAMAN BAGINDA RASULULLAH SHALALLAHU ALAIHI WASALLAM.

Sufi adalah ajaran kesucian Jiwa, setiap muslim mestilah ada ajaran tasawwufnya, karena kalau tidak maka ia akan menjadi fasiq, karena tasawwuf adalah mengajarkan khusyu, Jujur, setia, sabar, syukur, itu semua adalah ajaran tasawwuf, dan mereka yang menggeluti bidang itu disebut sufi.

Dizaman Nabi saw telah ada para sahabat yang disebut ahlusshuffah, mereka menginap disamping rumahnya Nabi saw, fuqara yang tak bekerja, mereka beribadah, berpuasa, dan belajar pada Nabi saw dan terus I'tikaf di masjid, diantaranya adalah Abu Hurairah ra.

Mengenai sufi yang bertentangan dengan syariah maka jangan menudu pada sufi, namun pada personilnya yg sesat, sebagaimana ulama yang menggeluti bidang fiqih disebut fuqaha, lalu jika ada fuqaha yang bertentangan dengan syariah lalu kita mengatakan semua fuqaha itu sesat, tentunya ini adalah pemahaman yang keliru.

Mengenai karamah telah ada di zaman Nabi saw, para sahabat yang mempunyai keramat, diriwayatkan dalam shahih Bukhari bahwa dua orang sahabat keluar dari rumah Nabi saw dimalam hari dan terlihat didepan mereka dua cahaya yang mengikuti mereka dan menerangi jalan mereka, ketika keduanya berpisah maka dua cahaya itu ikut masing masing pada keduanya,cahaya itu terus menerangi jalan mereka sampai mereka masuk rumah masing masing. ( Shahih Bukhari )

Juga teriwayatkan bahwa saat ABubakar shiddiq ra diperintah Nabi SAW untuk menjamu orang orang yang lapar, maka Abubakar shiddiq ra menyediakan makanan untuk dua - tiga orang saja, namun yang datang belasan orang, maka makanan itu malah semakin banyak dan cukup untuk belasan bahkan puluhan orang, berkat doa Abubakar shiddiq ra ( shahih Bukhari ).

Dan dimasa Umar ra menjadi khalifah, sedangkan para sahabat berperang di wilayah yg jauh dari madinah, maka saat mereka terdesak mereka mendengar teriakan Umar bin Khattab ra yang berkata : "keatas bukit... keatas bukit..!!", maka kami naik keatas bukit dan akhirnya kami menang, sedangkan di Madinah saat itu Khalifah Umar bin Khattab ra sedang khutbah diatas mimbar, tiba tiba beliau berteriak didepan hadirin : "keatas bukit.. keatas bukit..!!", maka para hadirin bingung, kenapa ini khalifah berteriak teriak seperti itu, dan maknanya tak mereka fahami,

Setelah pasukan perang kembali dari peperangan maka barulah penduduk madinah tahu bahwa Khalifah Umar bin Khattab ra saat sedang khutbah ia melihat kejadian peperangan disana, seraya berteriak dari Madinah dan suaranya didengar di tempat yang jauh itu.

Keramat seperti ini banyak dan tak terhitung, yang mengingkarinya adalah karena kedangkalan pemahaman syariahnya saja.

Ada juga kejadian makanan yang bertasbih didengar oleh para sahabat, mereka itu mendengarnya dengan telinganya ( Shahih Bukhari ), Allah mengizinkan makanan itu bersuara, sebagaiman Allah mengizinkan pula batang pohon kurma yang merintih ketika Rasul SAW pindah darinya saat berkhutbah jumat ( Shahih Bukhari ).

Dengan akal kita tidak mungkin bs mencerna tentang mukjizat para Nabi yang diriwayatkan dalam Kitab Suci Al Qur'an dan karamah yang diriwayatkan banyak dalam hadist shohih tersebut namun dngn hati yang jernih diliputi Iman kepada Allah tentu kita bs mencernanya dan memahaminya bahkan percaya sepenuhnya, sama halnya dengan karamah hanya bisa dicerna dngn hati yang jernih, "nahhh hati yang jernih itulah TASSAWUF".




Baca Selanjutnya

KHOLAF ADALAH PENERUS SALAF

Sekitar Istilah Salaf dan Khalaf

Di Antara gejala buruk yang berlaku dalam bidang ilmu agama adalah munculnya golongan yang mengaku lebih memahami manhaj salaf di banding para ulama' sebelum mereka yakni ulama yang di sebut "khalaf". Untuk menjadikan diri mereka berhak mengetahui siapa sebenarnya salaf dan apa sebenarnya manhaj salaf, maka mereka menamakan diri mereka
dengan nama "salafi", yaitu orang yang mengikut jejak salaf.

Ketidak tauan Terhadap Istilah

Golongan intelektual yang setengah matang yang muncul dalam lapangan intelektual Islam terpaksa menciptakan terminologi-terminologi (mustalahat) baru untuk mengelabui golongan yang lebih jahil daripada mereka. Lalu, mereka menggunakan istilah tertentu dengan takrif/definisi baru yang menyimpang dari penggunaan asalnnya dengan tujuan untuk mendominasi dan memonopoli istilah tersebut.

Maka, muncullah terminologi seperti "salafi", "khalafi" dan sebagainya yang mana sebelumnya, para ulama' hanya menggunakan istilah khalaf dan salaf saja.

Salafi menurut golongan (baru) ini adalah: "orang2 yang mengikuti manhaj salaf".

Khalafi menurut golongan (baru) ini adalah: "orang yang tidak mengikut manhaj salaf".

Padahal, istilah salaf dan khalaf yang digunakan oleh para ulama' secara sepakat sebelum munculnya golongan ini adalah:

Salaf: Generasi yang hidup dalam kurun pertama sehingga kurun ketiga hijrah, atau sampai kurun kelima hijrah. pendapat Paling kuat adalah, sampai kurun ketiga hijrah.

Khalaf: Generasi yang hidup setelah kurun ketiga atau kelima hijrah.

Maka, istilah salaf dan khalaf dalam penggunaan asal dari para ulama' tidak pernah di maksudkan sebagai suatu perbedaan manhaj, tetapi lebih di maksudkan pada perbedaan tempo masa. Sampai pada masa munculnya golongan yang mengaku sebagai salafi, yang padahal mereka hanyalah meneruskan semangat Ibn Taimiyyah yang sering mengaku lebih memahami salaf di banding dengan ulama'-ulama' lain sebelumnya atau yang sezaman dengannya khususnya dari kalangan Asya'irah yang dianggap kurang memahami manhaj salaf, lalu memulai usaha menamakan diri sebagai salafi dan lalu menamakan selain mereka sebagai khalafi.

Dengan usaha mereka ini, mereka mencetuskan suatu perkembangan di mana golongan ulama' yang berlainan faham dengan mereka dianggap tidak mengikuti salaf walaupun para ulama' tersebut adalah majoritas ulama' Islam. Bagi mereka, tokoh-tokoh yang memahami "salaf" yang sebenarnya hanyalah beberapa individu saja seperti Sheikh Ibn Taimiyyah, Sheikh Ibn Al-Qayyim, Sheikh Muhammad Abdul Wahab dan sebagainya.

Sedangkan, majoritas ulama' lain yang beraliran Asya'irah dan Maturidiyyah dalam bidang aqidah adalah "khalafi" yang tidak mengikut mazhab dan manhaj Salaf yang sebenarnya. Sebagai contoh, muncullah sautu situasi di mana seorang insan yang mungkin hanya seorang pekerja , mengaku lebih memahami salaf di banding Hujjatul Islam, Al-Imam, Al-Mujtahid, Al-Faqih, Al-Usuli Sheikh An-Nizhamiyyah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali yang merupakan mudir sebuah madrasah terbesar di zaman beliau iaitulah Al-Madrasah An-Nizhamiyyah.

pada Situasi yang lain pula muncul seorang insan kerdil yang tidak mengenal perbedaan antara mubtada' dengan khabar, lalu mengaku lebih mengikut Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah aqidah ,di banding Al-Imam Al-Hafiz Al-Muhaddith Amirul Mu'minin fi Al-Hadith Ibn Hajar Al-Asqollani, pensyarah kitab Sahih Al-Bukhari, hanya di karanakan Imam Ibn Hajar mempunyai pendirian dengan aqidah manhaj Al-Asy'ari.

Lihatlah ukuran peristiwa-peristiwa ini. Tidak adakah suatu bid'ah yang lebih besar daripada bid'ah seperti ini? maka Ungkapan: saya "salafi", bahkan lebih "salafi" daripada Al-Imam Al-Ghazali (hidup tahun 450 Hijrah dan meninggal dunia tahun 505 Hijrah), bahkan lebih memahami sunnah dan bid'ah di banding Al-Imam As-Syafi'e (150-204 H), seolah-olah hal semacam ini berkumandang secara lisan ha oleh pengikut golongan ini.

Khalaf adalah Penerus Manhaj Salaf

Seseorang perlu mengetahui bahawasanya yang dimaksudkan sebagai "Khalaf" adalah para ulama' yang hidup setelah berlalunya zaman salaf yang meneruskan manhaj umum para ulama' salaf. Khalaf tidak pernah di artikan dengan suatu golongan ulama' yang berbeda dengan ulama'-ulama' salaf dari sudut aqidah, manhaj fiqh dan akhlak.

Istilah salaf sendiri berarti:


سَلَفَ يَسْلُفُ سَلَفاً وسُلُوفاً: تقدَّم

Maksudnya: Salaf: Taqaddam yaitu terdahulu. [Lisan Al-'Arab, madah salafa]


والسَّلَفُ والسَّلِيفُ والسُّلْفَةُ: الجماعَةُ المتقدمون

Maksudnya: "As-Salaf, As-Salif dan As-Sulfah: Golongan Terdahulu [ibid]

Jadi, seseorang yang mengaku sebagai "salafi" secara bahasa berarti orang yang terdahulu. Sepatutnya sudah tidak hidup lagi karana sudah sepatutnya digantikan oleh orang yang kemudian. Oleh karana itulah para ulama' salaf tidak menyebut diri mereka sebagai "salafi" ketika mereka hidup karena para ulama' khalaflah yang memanggil mereka sebagai ulama' salaf karana mereka telah berlalu dan mendahului generasi kemudian.

Khalaf berarti generasi yang ditinggalkan setelah generasi terdahulu. Ia berasal dari perkataan khalafa yang berarti ke belakang atau kemudian.


الخَلْفُ ضدّ قُدّام

Maksudnya: Khalfu adalah lawan bagi Quddam ( terdahulu) [Lisan Al-'Arab, madah: khalafa]

Seseorang tidak akan dinamakan sebagai khalaf dari sesuatu melainkan dia penerus apa yang dilakukan oleh orang terdahulunya. Maka, dinamakanlah para ulama' khalaf sebagai khalaf karana mereka meneruskan apa yang dipegang oleh ulama' salaf, bukan karana mereka berbeda dengan salaf. Orang yang memahami bahwa ulama' khalaf berbeda dengan ulama' salaf dari sudut pegangan dan femahaman agama yang usul itu adalah suatu femahaman batil terhadap maksud khalaf itu sendiri.

Rasulullah s.a.w. sendiri memuji generasi khalaf ini yang meneruskan usaha menjaga kemurnian agama daripada golongan jahil dan batil.

Rasulullah s.a.w. bersabda:


يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله، ينفون عنه تحريف الغالين، وانتحال المبطلين، وتأويل الجاهلين

Maksudnya: "Ilmu ini akan dipikul oleh setiap khalaf (orang yang kemudian) dari kalangan yang adil daripadanya, yang menafikan tahrif (penyelewengan) orang yang melampaui batas , kepincangan golongan pembuat kebatilan dan takwilan dari orang-orang jahil".

[Hadith diriwayatkan secara mursal dalam sebahagian riwayat (Misykat Al-Mashabih) dan disambung secara sanadnya kepada sahabat kepada Rasulullah s.a.w. oleh Al-Imam Al-'Ala'ie. As-Safarini mengatakan sahih dalam kitab Al-Qaul Al-'Ali m/s: 227]

Ulama' Khalaf adalah "Salaf" (Pengikut Salaf) Pada Generasi Setelah Zaman Salaf

Kita perlu menyadari hakikat ini, dengan menyusuri sejarah dan lembaran tulisan ulama' tentang hakikat bahawasanya majoritas ulama' khalaf sebenarnya adalah penerus manhaj dan faham ulama' salaf dalam bidang agama. Nama-nama seperti Asya'irah, Maturidiyyah dan sebagainya dalam bidang aqidah adalah suatu tradisi yang sama seperti hal nama-nama Syafi'iyyah, Malikiiyyah, Ahnaf dan Hanabilah dalam bidang fiqh. Ia tidak lebih daripada himpunan manhaj yang seragam dan perkembangan kaedah pendalilan (istidlal) dalam sesuatu bidang ilmu, bukan suatu penyimpangan atau berlaianan daripada apa yang difahami oleh salaf. Hatta yang mengaku "Salafi" juga adalah berlainan daripada salaf itu sendiri.

Oleh sebab itulah, banyak tokoh-tokoh Asya'irah dalam bidang aqidah menulis kitab-kitab aqidah lalu menisbahkan aqidah mereka kepada as-salaf as-sholeh. Antaranya adalah:

Al-Imam Al-Hafiz Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi Al-Asy'ari yang menulis kitab berjudul:


الاعتقاد علي مذهب السلف اهل السنه و الجماعه

(Al-I'tiqad 'ala Mazhab As-Salaf Ahl As-Sunnah wal Jamaah yang maksudnya: Kepercayaan aqidah berteraskan mazhab Salaf ahli sunnah wal jamaah).

Sudah pasti kitab ini mengandungi pembahasan-pembahasan aqidah secara manhaj Asya'irah, namun di sisi Al-Imam Al-Baihaqi, itu tidak lain melainkan aqidah mazhab Salaf juga. Jadi, Asya'irah juga adalah "Salafiyyah" (jika ingin menggunakan istilah sekarang) pada asalnya, bahkan lebih awal ke"Salafiyyah"an mereka di banding Salafiyyah Wahabiyyah yang muncul kemudian.

Begitu juga Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang menulis kitab berjudul:

Iljam Al-Awam 'An Ilm Al-Kalam

Dalam kitab tersebut menjelaskan manhaj salaf yang sebenarnya dalam berinteraksi dengan ayat-ayat dan hadith-hadith mutasyabihat dengan cara tafwidh. Beliau menisbahkan manhaj ini (walaupun beliau sebagai di antara ulama' Asya'irah) kepada manhaj As-Salaf AS-Sholeh. Dalam Muqoddimah kitab ini, Al-Imam Al-Ghazali mengkritik Hasyawiyyah yang memahami nas-nas yang dhahirnya tasybih secara dhahir, lalu mengaku bahwa itu sebagai aqidah salaf, kemudian beliau menjelaskan manhaj as-salaf yang sebenarnya secara manhaj asy'ari. Maka, Al-Ghazali juga menetapkan ke"salafi"an beliau tanpa mengaku "salafi".

Oleh sebab itu, tokoh besar Al-Azhar AS-Syarif, Sheikh Abu Zahrah menjelaskan permasalahan Asya'irah, Maturidiyyah, Ibn Taimiyyah dan Wahabi dalam masalah aqidah di mana mereka berusaha mengaku siapa lebih memahami as-salaf yang sebenarnya. Kemudian, Sheikh Abu Zahrah menguatkan pendapat bahawasanya, cara Al-Imam Al-Ghazali (Asya'irah) dan Maturidiyyah dalam memahami Salaf lebih tepat di banding cara Ibn Taimiyyah memahami salaf dalam masalah aqidah. [Rujuk kitab Tarikh Al-Mazahib Al-Islamiyyah]

Mengaku "Salafi" Adalah Bid'ah yang Bahaya

Maka, benarlah kesimpulan yang dibuat oleh tokoh besar yaitu Sheikh Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buti dalam kitab As-Salafiyyah, bahawasanya bermazhab dengan mazhab salafi adalah suatu bid'ah yang bahaya. Silahkan rujuk di sini: http://www.dahsha.com/uploads/SalafyyaBouti.pdf

Ini karena itu,mereka menyimpulkan beberapa perkara:

As-Salaf itu bukan semata-mata suatu zaman yang diberkati, tetapi suatu himpunan keseragaman manhaj dalam bidang agama. Padahal, keseragaman manhaj dalam bidang agama tidak berlaku dalam keseluruhan salaf. Dalam bidang fiqh saja ada perbedaan antara Ahl Hadith dengan Ahl Ra'yi. Dalam bidang aqidah juga berbeda-beda manhajnya. Al-Imam Ahmad berbeza dengan Al-Imam Al-Muhasibi dan Ibn Kullab. Begitu juga Al-Imam Al-Bukhari berbeda dengan Al-Imam Ahmad dalam masalah lafaz Al-Qur'an. Begitu juga masalah-masalah lain. Jadi, tidak ada namanya mazhab salaf dalam arti kata bahwa itu suatu himpunan keseragaman manhaj dalam bidang agama. As-Salaf dalam istilah yang sebenar nya hanyalah suatu tempo masa yang diberkati.

mereka seolah-olah mengeluarkan selain "salafiyyah" daripada pengikut salaf yang sebenarnya. Oleh karena itulah, munculnya Salafiyyah Wahabiyyah yang menafikan Asya'irah, Maturidiyyah, Sufiyyah dan sebagainya sebagai pengikut salaf yang sebenarnya. Salafiyyah Wahabiyyah telah memenangkan dominasi slogan "mengikuti salaf", lalu menganggap selain mereka sebagai :"tidak mengikuti salaf". Ini suatu prasangka yang bahaya karana tidak mengikut salaf dalam masalah usul agama berarti tidak mengikut Rasulullah s.a.w. dan para sahabat r.a.. Ini adalah tuduhan yang sangat bahaya. Oleh karana itulah, banyak orang jahil menganggap bahwa para ulama' Asya'irah, MAturidiyyah dan Sufiyyah tidak mengikut aqidah sebenar Rasulullah s.a.w. dan para sahabat r.a.. Ini membawa kepada menuduh sesat selain yang mengaku "salafi".

Padahal, Asya'irah, Maturidiyyah, Sufiyyah dan sebagainya yang masih dalam lingkungan mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah hanya berbeda dari sudut manhaj dan pendekatan dalam bidang agama, bukan berbeda isi kandungan femahaman agama dengan as-salaf. Pendekatan dan manhaj adalah suatu yang berkembang mengikut zaman sebagaimana juga munculnya mazhab fiqh pada awal kurun ketiga hijrah lalu diteruskan hingga hari ini. Tidak boleh seseorang mengatakan mazhab syafi'e, atau mazhab maliki, bukan fiqh Rasulullah s.a.w, karana mazhab adalah himpunan cara ulama' memahami dalil-dalil yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w..

Maka, tidak perlu mengaku "salafi" untuk dinilai sebagai mengikut as-salaf as-sholeh. Ukurannya jelas yaitu dengan memahami agama mengikut femahaman as-salaf as-sholeh. dengan meRujuk kitab-kitab ulama' salaf sendiri. Bukan sekadar merujuk satu dua tokoh yang ada kemudian yang mengaku bahwa hanya mereka saja yang memahami salaf. ini Adalah suatu hal yang pincang apabila seseorang menjelaskan tentang manhaj salaf namun rujukannya bukan salaf seperti Sheikh Ibn Taimiyyah dan Muhammad Abdul Wahab sedangkan banyak lagi tulisan para ulama' salaf muktabar yang bisa dirujuk. Sheikh Ibn Taimiyyah tidak mesti tepat dalam memahami maksud dan isi perkataan dan femahaman salaf dalam semua masalah dan juga para ulama' lain tidak mesti tidak memahami salaf yang sebenarnya. Banyakkanlah bahan kajian agar kita jujur dalam membuat kajian.

Sumber: http://goo.gl/O6PQX
Baca Selanjutnya

Jumat, 30 November 2012

SAQIFAH BANI SA'IDAH



By Kaheel Baba Naheel


Dulu tempat ini sudah pernah aku posting disini:

http://goo.gl/CXyDu



Tempat ini mempunyai sejarah yang berhubungan dengan di pilihnya Sayyidina Abu Bakar Asshiddiq ra sebagai Khalifah pertama sepeninggal Nabi sholollohu alaihi wa sallam.

Dugaanku tempat ini tidak akan lama lagi akan menjadi halaman atau masjid Nabawi karena masuk pada peta proyek pelebaran Nabawi yang akan dilakukan entah mulai kapan.

Demikian baba naheel melaporkan

Sumber: http://goo.gl/jV4g7
Baca Selanjutnya

Rabu, 28 November 2012

PENTINGNYA KITA BERMAHZAB UNTUK MENJAGA SANAD KEGURUAN YANG BERSAMBUNG HINGGA BAGINDA RASULULLAH SAW



BerMahzab itu adalah untuk menjaga sanad keguruan kita agar tidak terputus dari Baginda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam ,..Imam 4 Mahzab adalah salafussoleh .. Salafussoleh adlh 3 generasi terbaik yg dibangga-banggakan Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam s

ebagaimana dijelaskan dlm sebuah Hadist luhur Beliau Baginda Rasulullah shalallahu Alaihi Wasallam bersabda :

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku ( para sahabat ) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya ( tabiu’t tabi’in )” (Hadits Bukhari & Muslim)

A. GENERASI SALAFUSSOLEH

1. Sahabat Yang Mulia Khalifah ar-Rasyidin :
• Abu Bakr Ash-Shiddiq
• Umar bin Al-Khaththab
• Utsman bin Affan
• Ali bin Abi Thalib

2. Sahabat yang mulia Al-Abadillah :
• Ibnu Umar
• Ibnu Abbas
• Ibnu Az-Zubair
• Ibnu Amr
• Ibnu Mas’ud
• Aisyah binti Abubakar
• Ummu Salamah
• Zainab bint Jahsy
• Anas bin Malik
• Zaid bin Tsabit
• Abu Hurairah
• Jabir bin Abdillah
• Abu Sa’id Al-Khudri
• Mu’adz bin Jabal
• Abu Dzarr al-Ghifari
• Sa’ad bin Abi Waqqash
• Abu Darda’

3. Para Tabi’in :
• Sa’id bin Al-Musayyab wafat 90 H
• Urwah bin Zubair wafat 99 H
• Sa’id bin Jubair wafat 95 H
• Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H
• Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H
• Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H
• Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H
• Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq
• Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H
• Muhammad bin Sirin wafat 110 H
• Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H
• Nafi’ bin Hurmuz wafat 117 H
• Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H
• Ikrimah wafat 105 H
• Asy Sya’by wafat 104 H
• Ibrahim an-Nakha’iy wafat 96 H
• Aqamah wafat 62 H

4. Para Tabi’ut tabi’in :
• Malik bin Anas wafat 179 H
• Al-Auza’i wafat 157 H
• Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H
• Sufyan bin Uyainah wafat 193 H
• Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H
• Syu’bah ibn A-Hajjaj wafat 160 H
• Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H

5. Atba’ Tabi’it Tabi’in : Setelah para tabi’ut tabi’in:
• Abdullah bin Al-Mubarak wafat 181 H
• Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H
• Abdurrahman bin Mahdy wafat 198 H
• Yahya bin Sa’id Al-Qaththan wafat 198 H
• Imam Syafi’i wafat 204 H

6. Murid-Murid atba’ Tabi’it Tabi’in :
• Ahmad bin Hambal wafat 241 H
• Yahya bin Ma’in wafat 233 H
• Ali bin Al-Madini wafat 234 H
• Abu Bakar bin Abi Syaibah Wafat 235 H
• Ibnu Rahawaih Wafat 238 H
• Ibnu Qutaibah Wafat 236 H

Sanad Keguruan Beliau bersambung Hingga baginda rasulullah shalallahu Alaihi Wasallam

B. MAHZAB IMAM SYAFI'I

Nasab Imam Syafi’I adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay. Abdul Manaf bin Qusyai yang menjadi kakek ke-9 Imam Syafi’I adalah Abdul Manaf bin Qushai yang juga menjadi kakek ke-4 Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana telah diketahui, bahwa silsilah Nabi Muhammad adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qusyai bin Kilab bin Marah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Quzaiman bin Mudrikah bin Ilyas, bin Ma’ad bin Adnan sampai kepada Nabi Ismail as dan Nabi Ibrahim as.

Maka jelaslah bahwa silsilah Imam Syafi’i bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad SAW.

Adapun dari pihak Ibu, Fatimah binti Abdmullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ibu Imam Syafi’i adalah cucu dari cucu Sayyidina Ali bin Abi Thalib, menantu, sahabat Nabi dan Khalifah ke-4 yang terkenal. Sepanjang sejarah telah ditemukan bahwa Said bin Abu Yazid, kakek Imam Syafi’I ke-5 adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi baik dilihat baik dari segi nasab maupun dari segi keturunan ilmu, maka Imam Syafi’i Rahimahullah adalah kerabat Nabi Muhammad SAW.

Gelar “asy-Syafi’i” dari Imam Syafi’i rahimahullah diambil dari kakek ke-4 beliau yaitu Syafi’ib in Saib.



C. ULAMA-ULAMA SALAF MAHZAB IMAM SYAFI'I

-al-Imam al-Humaidi (w. 219 H)

Nama lengkap beliau adalah ‘Abdullah bin Zuber bin ‘Isa, Abu Bakar Al-Humaidi. Beliau adalah juga murid langsung dari Imam Syafi’i. Beliaulah yang membawa dan mengembangkan Mazhab Syafi’I ketika di Makkah, sehingga beliau diangkat menjadi Mufti Makkah.

Inilah di antara 11 orang murid-murid langsung dari Imam Syafi’i yang kemudian menjadi Ulama’ Besar dan tetap teguh memegang Mazhab Syafi’i. Maka dengan perantaraan beliau-beliau inilah Mazhab Syafi’i tersiar luas ke pelusuk-pelusuk dunia Islam terutama ke bahagian Timur dari Hijaz, iaitu Iraq, ke Khurasan, ke Maawara An-Nahr, ke Azerbaiyan, ke Tabristan, juga ke Sind, ke Afghanistan, ke India, ke Yaman dan terus ke Hadhramaut, ke Pakistan, India dan Indonesia.

Beliau-beliau ini menyiarkan Mazhab Syafi’i dengan lisan dan tulisan. Selain dari itu ada dua orang murid Imam Syafi’i yaitu Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241H) yang kemudian ternyata membentuk satu aliran dalam fiqih yang bernama Mazhab Hanbali. Yang kedua Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Hakam , seorang Ulama’ murid langsung dari Imam Syafi’i yang ilmunya tidak kalah dari Al-Buwaiti. Beliau ini pada akhir umurnya berpindah ke Mazhab Maliki dan wafat dalam tahun 268H. di Mesir.

Ulama’-ulama’, murid yang langsung dari Imam Syafi’i ini boleh dinamakan Ulama’-ulama’ Syafi’iyah, iaitu Ulama’-ulama’ Syafi’iyah tingkatan pertama. Ada tingkatan kedua, iaitu Ulama’- ulama’ Syafi’iyah yang wafat dalam abad ketiga juga, tetapi tidak belajar kepada Imam Syafi’i sendiri, melainkan kepada murid-murid Imam Syafi’i . Ulama’-ulama’ itu adalah : Ahmad bin Syayyar Al-Marwazi, Imam Abu Ja’far At-Tirmizi, Abu Hatim Ar-Razi, Imam Bukhari, Al-Junaid Baghdad, Ad-Darimi, Imam Abu Daud dan lain-lain.

Sebelas murid-murid langsung dari Imam Syafi’i adalah Imam Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, Al-Buwaiti, Al-Muzani, Harmalah At-Tujibi, Az-Za’farani, Al-Karabisi, At-Tujibi, Muhammad bin Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah dan Al-Humaidi Wafat di Makkah pada tahun 219H

- al-Imam al-Buwaiti (w. 231 H)

Nama Lengkap beliau adalah Abu Ya’kub bin Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, lahir di desa Buwaiti (Mesir) wafat 231 Hijriyah. Beliau adalah murid langsung dari Imam Syafi’I rahimahullah, sederat dengan ar-Rabi’i bin Sulaiman al-Muradi.

Imam Syafi’I berkata ; “Tidak seorangpun yang lebih berhak ata kedudukanku melebihi dari Yusuf bin Yahya al-Buwaiti ” dan Imam Syafi’I berwasiat jika beliau wafat maka yang akan menggantikan kedudukan beliau mengajar adalah al-Imam Buwaiti ini.

Beliau menggantikan Imam Syafi’I berpuluhan tahun dan pada akhir umur hidup beliau ditangkap kerena persoalan “fitnah Qur’an” yaitu tentang apakah al-Qur’an itu makhluk atau tidak, yang digerakkan oleh kaum Muktazilah. Akhirnya al-Imam Buwaiti ditangkap oleh Khalifah yang pro terhadap paham Muktazilah, lalu dibawa dengan ikatan rantai ditubuhnya ke Baghdad. Beliau wafat dipenjara pada tahun 231 Hijriyah. Beliau syahid karena mempertahankan kepercayaan dan i’tiqad beliau yaitu I’tiqad kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mempercayai bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah yang Qadim, bukan “ciptaan Allah” (Makhluk).

- al-Imam Ishaq bin Rahuyah (w. 238 H)

Nama lengkap beliau adalah Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Rahuyah. Lahir tahun 166 H. wafat tahun 238H. Beliau belajar fiqih kepada Imam Syafi’i yang terkenal. Bukan saja dalam ilmu fiqih tetapi juga dalam ilmu Hadits. Imam bBukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, banyak mengambil hadits kepada Ishaq bin Rahuyah ini. Imam Nasa’i mengatakan bahawa Ibnu Rahuyah adalah “Tsiqqah”, yaitu “dipercayai”.

- al-Imam Muhammad bin Syafi’i (w. 240 H)

Muhammad bin Syafi’i, gelar Abu Utsman Al-Qadi. Beliau adalah anak yang tertua dari Imam Syafi’i. Pada akhir usia beliau, menjabat kedudukan Qadi di Jazirah dan wafat di situ tahun 240H.

- al-Imam al-Karabisi (w. 245 H)

Nama lengkap beliau adalah Imam Abu ‘Ali, Husein bin ‘Ali Al-Karabisi. Beliau juga seorang murid langsung dari Imam Syafi’i sesudah terlebih dahulu menganut ajaran Imam Abu Hanifah (Hanafi) dan kemudian masuk dalam Mazhab Syafi’i, beliau adalah menjadi tiang tengah dalam menegakkan fatwa dan aliran-aliran Imam Syafi’i.

- al-Imam at-Tujibi (w. 250H)

Ahmad bin Yahya bin Wazir bin Sulaiman At-Tujibi. Beliau adalah seorang Ulama’ yang belajar langsung dalam ilmu bfiqih kepada Imam Syafi’i. Meninggal dan bermaqam di Mesir.

- al-Imam al-Muzani (w. 264 H)

Pengarang kitab Mukhtashar Muzanni ini, bisa di [baca selengkapnya disini].

- al-Imam Harmalah at-Tujibi (w. 243 H)

Nama lengkapnya Harmalah bin Yahya Abdullah At-Tujibi, murid Imam Syafi’I Rahimahullah. Beliau adalah ulama besar penegak madzhab Syafi’i yang menyusun kitab-kitab Imam Syafi’i. Didalam madzhab Syafi’I terkenal kitab Harmalah yaitu kitab karangan Imam Syafi’I rahimahullah yang disusun oleh murid beliau yaitu Harmalah bin Yahya.

Selain ahli Fiqh Syafiyyah yang terkenal, beliau juga juga ahli Hadits yang menghafal hadits-hadits Nabi. Khabarnya beliau telah menghafal 10.000 hadits Nabi. Diantara ahli hadits yang menjadi murid dari Harmalah, diantaranya adalah Imam Muslim, Imam Ibnu Qutaibah, Imam Hasan bin Sofyan dan lain-lain.

- al-Imam Bukhari (w. 256 H)

Nama lengkap beliau Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughitah bin Bardizbah Al-Jufri Al-Bukhari. Lahir tahun 194 H. di Bukhara Asia Tengah. Sejak kecil beliau sudah menghafal Al-Qur’an di luar kepala dan sangat menyukai mencari dan mendengar Hadits-hadits Nabi. Kemudian selama 16 tahun beliau menyusun dan mengarang kitab sohihnya yang berjudul kitab “Sohih Al-Bukhari”.

Beliau selalu mengedar ke daerah-daerah dan kota-kota negeri Islam ketika itu. Beliau belajar Hadits di negerinya dan kemudian pergi ke Balkha, ke Marwa, ke Nisabur, ke Rai, ke Basrah, ke Kufah, ke Makkah, ke Madinah, ke Mesir, ke Damaskus, ke Asqalan dan lain-lain.

Perjalanan beliau ini adalah dalam rangka mencari ulama’-ulama’ yang menyimpan hadits dalam dadanya untuk dituliskannya di dalam kitab yang ketika itu sangat kurang sekali. Kitab Sohih Bukhari itu adalah kitab agama Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Hadits-hadits di dalamnya menjadi sumber hukum yang kuat dalam fiqih (hukum) Islam. Pada mulanya beliau sampai menghafal hadits sebanyak 600,000 hadits yang diambilnya dari 1,080 orang guru, tetapi kemudian setelah disaring dan disaringnya lagi, maka yang dituliskannya dalam kitab Sohih Bukhari hanya 7,275 hadits. Kalau disatukan hadits yang berulang-ulang disebutnya dalam kitab itu, jadinya berjumlah 4,000 hadits yang kesemuanya hadits sohih dan diterima oleh seluruh dunia Islam, terkecuali oleh orang yang buta mata hatinya.

Di antara guru beliau dalam fiqih Syafi’i adalah Imam Al-Humaidi, sahabat Imam Syafi’i yang belajar fiqih daripada Imam Syafi’i ketika berada di Makkah Mukarramah.

Juga beliau belajar fiqih dan Hadits daripada Za’farani, Abu Thur dan Al-Karabisi, ketiganya adalah murid Imam Syafi’i. Demikianlah diterangkan oleh Imam Abu ‘Asim Al-Abbadi dalamkitab “Tobaqat”nya. Beliau tidak banyak membicarakan soal fiqih, tetapi hampir semua pekerjaan beliau berkisar kepada hadits-hadits saja yang tidak mengambil hukum dari hadits-hadits itu. Ini suatu bukti bahawa beliau bukan Imam Mujtahid, tetapi ahli hadits yang di dalam furu’ Syari’at beliau menganut Mazhab Syafi’i.

Di dalam kitab “Faidhu Qadir” syarah Jamius Saghir pada juzu’ I halaman 24 diterangkan bahawa Imam Bukhari mengambil fiqih daripada Al-Humaidi dan sahabat Imam Syafi’i yang lain. Imam Bukhari tidak mengambil hadits daripada Imam Syafi’i kerana beliau meninggal dalam usia muda, tetapi Imam Bukhari belajar dan mengambil hadits daripada murid-murid Imam Syafi’i.

Tetapi sesungguhnya begitu, di dalam kitab Sohih Bukhari ada dua kali Imam Syafi’i disebut, iaitu pada bab Rikaz yang lima dalam kitab Zakat dan pada bab Tafsir ‘Araya dalam kitab Buyu’. (Lihat Fathul Bari juzu’ IV, halaman 106 dan pada juzu’ V halaman 295)

- al-Imam az-Za’farani (w. 260 H)

Nama lengkap beliau adalah al-Imam Hasan bin Muhammad as-Sabah az-Za’farani. Lahir didusun az-Za’farani dan pindah ke kota Baghdad, disana beliau belajar kepada al-Imam Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam az-Za’farani adalah murid langsung dari Imam Syafi’i.

Imam Bukhari, seorang ahli hadits yang terkenal banyak mengambil hadits dari al-Imam Za’farani namun beliau tidak menjadi mujtahid Fiqh. Beliau tetap memegang madzhab Imam Syafi’i. Dari beliau ini mengalir madzhab Imam Syafi’I kepada Imam Bukhari sehingga beliau menganut madzhab imam Syafi’I dalam syariat dan Ibadah.

- al-Imam Muslim (w. 261 H)

Beliau adalah Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, yang lebih dikenal dengan Imam Muslim. Dilahirkan pada tahun 204 Hijriah dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan dikuburkan di Naisaburi.

Beliau juga sudah belajar hadits sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima Hadits dari beliau ini, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab Shahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadits shahih ini; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim biasa disebut dengan Ash Shahihain. Kadua tokoh hadits ini biasa disebut Asy Syaikhani atau Asy Syaikhaini, yang berarti dua orang tua yang maksudnya dua tokoh ulama ahli Hadits. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya.

Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya

Al-Jami` ash-Shahih atau lebih dikenal sebagai Sahih Musli
Al-Musnad al-Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits)
Kitab al-Asma wal-Kuna
Kitab al-Ilal
Kitab al-Aqran
Kitab Su`alatihi Ahmad bin Hambal
Kitab al-Intifa` bi Uhubis-Siba`
Kitab al-Muhadramin
Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid
Kitab Auladish-Shahabah
Kitab Auhamil-Muhadditsin

- al-Imam Ahmad bin Syayyar al-Marwazi (w. 268 H)

Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Syayyar bin Ayub Abu Hasan Al-Marwazi. Beliau adalah murid dari Ishaq bin Rahuyah dan Ulama’- ulama’ Syafi’i yang lain, ulama’-ulama’ seperti Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Imam Bukhari dan lain-lain, mengambil ilmu kepada beliau. Syeikh Ahmad bin Syayyar yang membawa dan memajukan Mazhab Syafi’i ke Marwin, ke Ghazanah di India, ke Afghanistan dan lain-lain. Beliau adalah pengarang kitab “Tarikh Marwin”.

- al-Imam ar-Rabi’ ibn Sulaimanal-Muradi (w. 270 H)

Beliau adalah murid langsung dari Imam Syafi’i Rahimahullah, dibawa dari Baghdad sampai ke Mesir. Lahir tahun 174 Hijriyah dan wafat pada tahun 270 Hijriyah. Beliau inilah yang membantu Imam Syafi’I menulis kitabnya al-Umm dan kitab ushul Fiqh pertama didunia yaitu kitab ar-Risalah al-Jadidah.

Berkata Muhammad bin Hamdan, “saya datang ke kediaman Rabi’I pada suatu hari, dimana didapati didepan rumahnya 700 kendaraan membawa orang yang datang mempelajari kitab Syafi’i dari beliau”.

Ini merupakan bukti bahwa al-Imam ar-Rabi’I ibnu Sulaiman al-Muradi adalah seorang yang utama, penyiar dan penyebar madzhab Syafi’i dalam abad-abad yang pertama. Disebutkan dalam kitab al-Majmu’ halaman 70, kalau ada perkataan “sahabat kitab ar-Rabi’i” maka maksudnya ar-Rabi’i Sulaiman al-Muradi. Didalam kitab al-Muhzab, tidak ada ar-Rabi’I selain ar-Rabi’I ini, kecuali ar-Rabi’I dalam masalah menyamak kulit yang bukan ar-Rabi’I ini melainkan ar-Rabi’I bin Sulaiman al-Jizi. (Beliau juga adalah sahabat Imam Syafi’i).

- al-Imam Ibnu Majah (w. 275 H)

Nama beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini . Ia dilahirkan pada tahun 207 Hijriah dan meninggal pada hari selasa, delapan hari sebelum berakhirnya bulan Ramadhan tahun 275. Ia menuntut ilmu hadits dari berbagai negara hingga beliau mendengar hadits dari madzhab Maliki dan Al Laits. Sebaliknya banyak ulama yang menerima hadits dari beliau. Ibnu Majah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah dan kitab ini sebelumnya tidak mempunyai tingkatan atau tidak termasuk dalam kelompok kutubus sittah (lihat di bagian hadits) karena dalam kitabnya ini terdapat hadits yang dlaif bahkan hadits munkar. Oleh karena itu para ulama memasukkan kitab Al Muwaththa karya Imam Malik dalam kelompok perawi yang lima (Al Khamsah). Menurut penyusun (Ibnu Hajar) ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah kedalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf, kemudian Abdul Ghani dal kitabnya Asmaur Rijal

- al-Imam Abu Daud (w. 276 H)

Nama lengkap beliau adalah Sulaimam bin Asy’ats bin Ishak As-Sijistani , yang kemudian terkenal dengan Imam Abu Daud saja. Beliau berasal dari Sijistan sebuah desa di India, lahir pada tahun 202H. Seorang ulama’ ilmu hadits yang terkenal, yang kitabnya “Sunan Abu Daud” termasuk kitab hadits yang enam, iaitu Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmizi. Selain dari itu beliau adalah ahli fiqih Syafi’i, yang dipelajarinya dari Ishaq Ibnu Rahuyah dan lain-lain ulama’ Syafi’iyah.

- al-Imam Abu Hatim ar-Razi (w. 277 H)

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin Munzir bin Daud bin Mihran. Abu Hatim Ar-Razi , lahir tahun 195H. beliau adalah seorang Ulama’ Syafi’iyah yang besar, yang mengatakan bahawa beliau telah berjalan kaki mencari hadits pada tingkat pertama sepanjang 1,000 farsakh. Beliau berjalan kaki dari Bahrin ke Mesir, ke Ramlah di Palestina, ke Damaskus, ke Intakiah, ke Tarsus, kemudian kembali ke Iraq dalam usia 20 tahun. Di antara guru beliau dalam fiqih ialah Yunus bin ‘Abdul A’ala , iaitu sahabat-sahabat Imam Syafi’iyah

- al-Imam ad-Darimi (w. 280 H)

Nama lengkap beliau adalah ‘Utsman bin Sa’id bin Khalid bin Sa’id As-Sijistani Al-Hafiz Abu Sa’ad Ad-Darimi. Beliau seorang ahli hadits yang terkenal dan juga ahli fiqih Syafi’i. Beliau belajar fiqih daripada sahabat-sahabat Imam Syafi’i yaitu Al-Buwaiti dan juga daripada Ishak bin Rahuyah. Beliau mengarang kitab hadits besar bernama “Musnad Darimi” dan juga mengarang kitab untuk menolak Bisyir Al-Marisi, Imam Mu’tazilah.

- Imam Abu Ja’far at-Tirmidzi (w. 295 H)

Nama lengkap beliau ini adalah Muhammad bin Ahmad bin Nasar, Abu Ja’far At-Tirmizi . Beliau adalah seorang Ulama’ Besar Syafi’iyah di Iraq sebelum masanya Ibnu Surej. Beliau mengarang sebuah kitab dengan judul “Kitab Ikhtilaf Ahlis Salat” dalam usuluddin.

- al-Imam Junaid al-Baghdadi (w. 298 H)

Nama lengkap beliau, ‘Abdul Qasim Junaid bin Muhammad bin Junaid Al-Baghdadi. Beliau adalah seorang ahli tasawuf besar yang sampai sekarang masyhur namanya dalam dunia Islam. Beliau belajar ilmu fiqih daripada Abu Thur Al-Kalibi (murid Imam Syafi’i ) dan dalam usia 20 tahun sudah berfatwa.

KURUN KE-EMPAT HIJRIYAH

al-Imam an-Nasa’i (w. 303 H)
al-Imam at-Thabari (w. 305 H)
al-Imam Ibnu Surej (w. 306 H)
al-Imam ‘Abdullah bin Muhammad Ziyad an-Nisaburi (w. 324 H)
al-Imam Ibnu Qasi (w. 335 H)
al-Imam as-Su’luki (w. 337 H)
al-Imam al-Asy’ari (w. 324 H)
al-Imam Abu Ishaq al-Marwazi (w.340 H)
al-Imam Ibnu Abi Hurairah (w. 345 H)
al-Imam al-Mus’udi (w. 346 H)
al-Imam Abu Saib al-Marwazi (w. 362 H)
al-Imam Abu Hamid sl-Marwazi (w. 362 H)
al-Imam as-Sijistani (w. 363 H)
al-Imam al-Qaffal al-Kabiir (w. 365 H)
al-Imam ad-Dariki (w. 375 H)
al-Imam Ibnu Abi Hatim (w. 381 H)
al-Imam al-Daruquthni (w. 385 H)
al-Imam al-Jurjani (w. 393 H)

KURUN KE-LIMA HIJRIYAH

al-Imam al-Baqilani (w. 403 H)
al-Imam Hakim [Hakim al-Naisaburi] (w. 405 H)
al-Imam al-Asfaraini (w. 406 H)
al-Imam as-Sinji (w. 406 H)
al-Imam Ibnu Mahamili (w. 415 H)
al-Imam ats-Tsa’labi (w. 427 H)
al-Imam al-Mawardi (w. 450 H)
al-Imam al-Baihaqi (w. 458H)
al-Imam al-Haramain (w. 460H)
al-Imam al-Qusyairi (w. 465H)
al-Imam asy-Syirazi (w. 476 H)
al-Imam al-’Aziz (w. 494 H)
al-Imam at-Thabari (w. 495 H)

KURUN KE-ENAM HIJRIYAH

al-Imam al-Kayahirasi (w. 504 H)
al-Imam al-Ghazali (w. 505 H)
al-Imam Abu Bakar asy-Syasyi al-Qaffal (w. 507 H)
al-Imam al-Baghawi (w. 510 H)
al-Imam Syahrastani (w. 548 H)
al-Imam Abul Husain Yahya al-Amrani al-Yamani (w. 558 H)
al-Imam Syihabuddin Abu Syuja’ (w. 593 H)

KURUN KE-TUJUH HIJRIYAH

al-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam (w. 606 H)
al-Imam ar-Razi (wafat 606 H)
al-Imam Ibnu Atsir (w. 606 H)
al-Imam Ibnu Shalah (w. 643 H)
al-Imam ar-Rafi’i (w. 623 H)
al-Imam an-Nawawi (w. 676 H)

KURUN KE-DELAPAN HIJRIYAH

al-Imam Taqiyuddin Ibnu Daqiqil ‘Id (w. 702 H)
al-Imam Zamlukani (w. 727 H)
al-Imam Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H)
al-Imam Tajuddin Subki (w. 771 H)
al-Imam Ibnu Katsir (w. 774 H)
al-Imam Zarkasyi (w. 794 H)

KURUN KE-SEMBILAN HIJRIYAH

al-Imam al-Mahalli (w. 835 H)
al-Imam Ibnu Mulaqin (w. 804 H)
al-Imam Ibnu Ruslan (w. 844 H)
al-Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H)
al-Imam al-Husaini al-Hishni (w. 829 H)
al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Manhaji al-Qahari (w. 880 H)

KURUN KE-SEPULUH HIJRIYAH

al-Imam as-Suyuthi (w. 911 H)
al-Imam Abdullah bin Abdurramah Bafadlal al-Hadlrami (w. 918 H)
al-Imam Qasthalani (w. 923 H)
al-Imam Zakaria al-Anshari (w. 926 H)
al-Imam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H)
al-Imam Khatib Syarbaini (w. 977 H)
al-’Allamah Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (w. 987 H)
al-Imam Ahmad ‘Umairah (w. 957 H)

KURUN KE-SEBELAS HIJRIYAH

al-Imam ar-Ramli (w. 1004 H)
al-Imam ar-Raniri (w. 1068 H)
al-Imam Ahmad Salamah al-Qalyubi (w. 1069 H)
Imam-Imam lainnya pada abad ini sebenarnya banyak.

KURUN KE-DUA BELAS HIJRIYAH

al-Habib ‘Abdullah ibn ‘Alwi al-Haddad (w. 1132 H)
Syaikh Sayyid Ja’far al-Barzanji (W. 1184 H)

KURUN KE-TIGA BELAS HIJRIYAH

al-Imam asy-Syarqawi (w. 1227 H)
al-Imam al-’Allamah Syaikh Sulaiman al-Jumal (w. 1204 H)
al-Imam al-Bujairami al-Mishri (w. 1221 H)
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1227 H)
Syaikh asy-Syanwani (w. 1233H)
Syaikh Abdus Samad al-Falembani/Palembang
Syaikh Daud ‘Abdullah al-Fathani (w. 1265 H)
al-Imam Al-Bajuri (w. 1276 H)

KURUN KE-EMPAT BELAS HIJRIYAH

Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Makkah (w. 1304 H)
Syaikh al-Bakri Syatha ad-Dimyathi (w. 1302 H)
Syaikh an-Nawawi al-Bantani al-Jawi (W. 1316 H)
Syaikh Muhammad Khalil al-Maduri [Bangkalan]
Syaikh Wan Ali Kutan (w. 1331 H)
Syaikh Utsman Betawi (w. 1333 H)
Syaikh Ahmad Khatib (w. 1334 H)
Syaikh Utsman Senik (w. 1336 H)
al-’Allamah az-Zuhri al-Ghamrawi (w. 1337 H)
Syaikh Utsman as-Saraqawi (w. 1339 H)
Syaikh Muhammad Sa’ad (w. 1339 H)
Syaikh Muhammad Sa’id al-Linggi (w. 1345 H)
Syaikh Yusuf Bin Isma’il al-Nabhani (w. 1350 H)
Syaikh Muhammad Shaleh al-Minankabawi (w.1351 H)
Syaikh Wan Sulaiman (w. 1354 H)
Syaikh Hasan Ma’sum (w. 1355 H)
Syaikh Abu Bakar Muar (w. 1357 H)
Syaikh Abdul Latif at-Tanbi (w. 1358 H)
Imam Ya’qub al-Kalantani (w. 1360 H)
Syaikh Muhammad Jamil Jaho (w. 1360 H)
Syaikh Muhammad Shaleh Kedah
Syaikh Hasyim Asy’ari (w. 1367 H)
Syaikh Abdul Mubin al-Jarimi al-Fathani (w. 1367 H)
Syaikh Abdul Wahid (w. 1369 H)
Syaikh Muhammad Fadlil Banten (w. ? H)
Syaikh Mustafa Husein (w. 1370 H)
Syaikh Abbas Qadi (w. 1370 H)
Syaikh Tahir Jalaluddin al-Azhari (w. 1376 H)
Syaikh Tengku Mahmud az-Zuhdi (w. 1376 H)
Syaikh Abdullah Fahim (w. ? H)
Syaikh Muda Wali (w. 1380 H)
Syaikh Abdurrahman al-Kalantani (w. 1391 H)
Syaikh Ismail al-Asyi (w. ? H)
Syaikh Ihsan Dahlan al-Jampesi’
Syaikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani (w. ? H)

KURUN KE-LIMA BElAS HIJRIYAH

Syaikh [KH.] Sirajuddin ‘Abbas (w. 1400 H)
Syaikh Muhammad Idris al-Marbawi (W. 1409 H)
Mufti Haji Ismail Omar (w. 1413 H)
Syaikh’ [Kiyai] Shamsuddin (w. 1418 H)
K.H.M. Syafi’i Hadzami (w. 1427 H)
Syaikh Muhammad Fuad al-Maliki
Syaikh Nuh ‘Ali Salman al-Qudah (w. 1432 H)
Syaikh Ahmad Sahl al-Hajini
Syaikh Mushthafa al-Khin
Syaikh Mushthafa al-Bugha

Dan masih banyak lagi yang mungkin terlewatkan untuk kami sebutkan, pada kurun-kurun terakhir kebanyakan hanya disebutkan ulama besar yang berasal dari Nusantara, belum lagi di wilayah lainnya.

Disarikan dari buku “SEJARAH DAN KEAGUNGAN MADZHAB SYAFI’I (Oleh KH. Sirajuddin Abbas)” dan dari berbagai sumber. Masih banyak ulama-ulama bermadzhab Syafi’iyyah yang tidak mungkin bisa kami sebutkan disini. Jika banyak berinteraksi kitab-kitab Ulama niscaya akan menjumpai ribuan ulama lainnya.

Ad-Dimasyqiy asy-Syafi’i (‘Ulama Syafi’iyyah Damaskus).
al-Imam al-Muhaddits al-Bukhariy Bermadzhab Syafi’iyyah

Informasi lain tentang ulama-ulama Syafi’iyah bisa dibaca dalam kitab-kitab seperti Thabaqat al-Fuqahaa’ asy-Syafi’iyah karya al-Imam al-Hafidz Ibnu Katsir asy-Syafi’i, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubraa karya al-Imam Tajuddin as-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah karya Ibnu Qadli Syuhbah, Thabaqat al-Syafi’iyah karya Jamaluddin Abdur Rahim bin al-Hasan al-Asnawi dan lain sebagainya.

Dan Para Walisongo dan juga para ulama dan para Habib Ahlusunnah wal Jama'ah di Indonesia pun mengikuti MAhzab Imam Syafi'i..barangkali ada yg bs menambahkan saudaraku..Mahzab Imam Syafi'i adalah yang terbesar didunia ini.

=======================>>
BerMahzab itu adalah untuk menjaga sanad keguruan kita agar tidak terputus dari Baginda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam .. renungkanlah itu wahai saudaraku.

Berkata Imam Syafii : "Tiada ilmu tanpa sanad",

berkata pula AL Hafidh Imam Attsauri : "Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak memiliki senjata, maka dengan apa kau membela diri?".

berkata Imam Ibnul Mubarak rahimahullah : penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yg ingin naik ke atap rumah tanpa tangga"

berkata pula Imam Syafii : "penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan pencari kayu bakar yg mencari kau bakar ditengah malam, yg ia membawa tali pengikatnya adalah ular berbisa dan ia tak tahu" (Faidhul Qadir Juz 4 hal 442)

dan masih banyak lagi, dan merupakan hal yg baku diantara para Muhadditsin bahwa mereka tak mengakui suatu ajaran/tuntunan ibadah dari seseorang ustaz/guru/ulama kecuali orang itu mempunyai sanadnya.

Sumber

Semoga bermanfaat.

Baca Selanjutnya