كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ PECINTA RASULULLAH.COM menyajikan artikel-artikel faktual sebagai sarana berbagi ilmu dan informasi demi kelestarian aswaja di belahan bumi manapun Terimakasih atas kunjungannya semoga semua artikel di blog ini dapat bermanfaat untuk mempererat ukhwuah islamiyah antar aswaja dan jangan lupa kembali lagi yah

Sabtu, 30 Juni 2012

ABHUR = Kawasan Pantai



By Hayat Alkafi

ABHUR === Kawasan Pantai ..
=======================
Bagi penduduk Jeddah nama tempat ABHUR tidak asing lagi, apa lagi yg udah bekerja sebagai TKW atau TKL..singkat aja ya biar cepet
=====================================
Abhur itu kawasan Utara kota jeddah jalan menuju ke MADIHAH..Suatu tempat wisata bahariyyah sekaligus tempat REFRESING bila liburan datang di sana banyak KOMPLEK2 perumahan ELIT yg biasa di sewakan untuk inap selama liburan SAYA PRIBADI PERNAH MASUK kesana wanita bebas tanpa abaya...Singkat cerita..Kawasan ini berbeda dengan suasana di pusat kota...Indah dengan pemandangan renang, kursi2 santai yg bisa di mikmati oleh semua manusia yg ada di dalam nya
======================
Ini aku sertakan foto dari temen saya, yg kebetulan ada di jeddah dan pernah memasuki kawasan ABHUR

Demikian Hayat Alkafi Melaporkan

Baca Selanjutnya

Artis kawasan teluk ( baca dari Negara Emirat ) Maryam Husen mengadakan ULTAH nya ke 21



By Hayat Alkafi

اقامت الفنانة " مريم حسين " حفل بمناسبة عيد ميلادها الحادي و العشرون

بحضور مجموعة من الاصدقاء و الفنانين و وسائل الاعلام وذلك في فندق هوليدي إن السالمية

و تقدم الحضور الشيخ دعيج الخليفة و احمد السلمان و ابراهيم دشتي و فلاح مطر و سعد كنعان و بشاير
=================================================
Artis kawasan teluk ( baca dari Negara Emirat ) Maryam Husen mengadakan ULTAH nya ke 21,yg di hadiri dari kalangan para artis, kerabat dan teman dekat dan juga di hadiri dari media iklan,yg di laksanakan di Hatel Holyday In Salamiyyah
http://n4hr.com/up/uploads/40fcc511b6.jpg

http://www.coolq8y.com/exclusive/sep11/coolq8y-com-maryam%20%2810%29.jpg
Kegembiraan terasa menyelimuti dalam acara tersebut
http://www.mobdi3ine.net/up/13165801426.jpg
Lagi mengkur..besar mana KIK dengan Orang nya ( salah satu pengunjung ultah )..wkwkkwkw
http://kuwait16.net/upkuwnet/uploads/images/domain-65649a8968.jpg
Mbak Maryam sedang membaca Burdah Sholawatan


http://www.elmaha.com/vb/imgstore/451749273213.jpg

Demikian Hayat Alkafi melaporkan
Baca Selanjutnya

Belajar bahasa Inggris, Belanda, Indonesia, Madura, Jawa dan lainnya akan dihisap di hari kiamat dan masuk neraka


Syaikh salafi al-Utsaimin berfatwa sebagai berikut :


: الذي اراه ان الذي يعلم صبيّه اللغة الانجليزية منذ الصغر سوف يحاسب عليه يوم القيامة لأنه يؤدي الى محبة الطفل لهذه اللغة , ثم محبة من ينطق بها من الناس … هذا من أدخل أولاده منذ الصغر لتعلم اللغة الانجليزية أو غيرها من اللغات

" Menurut pendapatku, orang yang mengajarkan anaknya bahasa inggris sejak kecilnya , maka akan dihisap di hari kiamat kelak, karena hal itu bisa menyebabkan anak kecil itu mencintai bahasa inggris, kemudian mencintai orang yang mengucapkan bahasa inggris. Inilah hukum orang yang memasukkan anak-anaknya sejak kecil untuk belajar bahasa Ingris atau bahasa lainnya "

Lihat : Syarh Zaad Al-Mustanqi', Kaset bab Nikah al-Utsaimin di dalam sesion tanya jawab.

Atau bisa dilihat di youtube ini saat al-Utsaimin berceramah :

http://www.youtube.com/watch?v=2DFN1Hxf_rk


============================

Untuk semua penganut agama salafi, renungkan fatwa guru kalian ini....
Jangan belajar bahasa inggris, bahasa Indonesia, bahasa madura, bahasa jawa dan bahasa lainya, jadi kalian harus belajar bahasa Arab dan berbicara dengan bahasa arab....

Waduh berapa banyak umat muslim yang bakal dihisap karena belajar bahasa inggris dan lainnya ya ??

Padahal umat mereka sendiri (salafi/wahabi) belajar bahasa inggris loh....
Baca Selanjutnya

PESTA KEBUDAYAAN( baca arab Al jenadriyah ) ke 27



http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8113136426578041002

By Hayat Alkafi

Link di atas adalah = Pemberitaan seputar PESTA KEBUDAYAAN( baca arab Al jenadriyah ) ke 27 yg di adakan di Kota Riyadh beberapa waktu lalu...dimana disisi lain dalam Pameran kebuadayaaan tersebut, terdapat Kebudayaan KOREA SELATAN yg menampilkan sebuah Filem

Menurut berita Filem yg di tampilkan oleh negara KOREA adalah, seputar kebudayaan bahariyyah negara tersebut ( aku dewe gak mudeng maksud nya apa..he he he

Tapi yg jelas..menurut sumber berita tersebut..warga saudi yg menghadiri pemutaran filem tersebut sangat kagum dan senang atas penampilan kebudayaan KOREA SELATAN..dan meminta kepada pemerintah untuk memberikan izin di bukanya sebuah gedung filem di Negara nya ( saudi )
Berikut sebuah DEMO LOVE KOREA yg di lakukan para HARIM yg telah menyaksiskan filem tersebut


Berikut di sisi lain..Para pengunjung dari warga saudi sedang memasuki sebuah GEDUNG PEMUTARAN filem korea yg terdapat dalam PESTA KEBUDAYAAN ( al jenadriyah 27 ) bebrapa waktu lalu

http://s.alriyadh.com/2012/02/23/img/625962602765.jpg

Para pengunjung sedang menik mati pemutaran Filem

http://s.alriyadh.com/2012/02/23/img/006063519656.jpg

Disisi lain masih dalam pesta Al jenadriyah ( kebudayaan ) subuah penampilan JOGET TRADISI KOREA yg juga merupakan sebagian penampilan dari kebudayaan KOREA
http://s.alriyadh.com/2012/02/18/img/508327594986.jpg

Sebuah SOW ROOM beberapa kebudayaan KOREA SELATAN yg di persembahkan buat pengunjug di acara PESTA KEBUDAYAAN
http://s.alriyadh.com/2012/02/16/img/962309919734.jpg

Nampak para pengunjung sedang antri memasuki gedung Pemutaran Filem di atas
http://s.alriyadh.com/2012/02/16/img/460512247742.jpg

Anak anak pun nampaknya gembira dan senang atas PENAMPAKAN kebbudayaan KOREA SELATAN
http://s.alriyadh.com/2012/02/11/img/845035391353.jpg

اقامت الفنانة " مريم حسين " حفل بمناسبة عيد ميلادها الحادي و العشرون

بحضور مجموعة من الاصدقاء و الفنانين و وسائل الاعلام وذلك في فندق هوليدي إن السالمية

و تقدم الحضور الشيخ دعيج الخليفة و احمد السلمان و ابراهيم دشتي و فلاح مطر و سعد كنعان و بشاير
=================================================
Artis kawasan teluk ( baca dari Negara Emirat ) Maryam Husen mengadakan ULTAH nya ke 21,yg di hadiri dari kalangan para artis, kerabat dan teman dekat dan juga di hadiri dari media iklan,yg di laksanakan di Hatel Holyday In Salamiyyah




Demikian Hayat Alkafi Melaporkan


Baca Selanjutnya

Jumat, 29 Juni 2012

[HANYA MAKRUH]



By Kaheel Baba Naheel

س: أنا رجل سعودي أبلغ من العمر حوالي 27 سنة، دخلت السجن وقد لجأت إلى الله في العبادة وإنني أصوم ما يلي: أصوم + الاثنين والخميس من كل أسبوع، وأصوم ثلاثة أيام من كل شهر، وأصوم شهر رجب كاملاً من كل سنة، وأصوم عشر أيام ذي الحجة أي تسعة أيام في عرفة، وأصوم عاشوراء قبله يوم وبعده يوم، وأصوم ستًّا من شوال، وأصوم نصف شعبان

وإن السؤال هو ما يلي

يقال: إن الصيام رمضان فقط والباقي بدعة، وليس يوجد حديث صحيح، علمًا بأنني وجدت حديثًا صحيحًا في كتاب تنبيه الغافلين للشيخ أبي الليث السمرقندي أرجو رد الجواب، هل صيام هذه الأيام صحيح أم بدعة، علمًا بأن زملائي في السجن يقولون: إن هذا بدعة ولا يجوز الصيام فيه


ج: صوم الاثنين والخميس من كل أسبوع وصيام ثلاثة أيام من كل شهر وصوم تسع ذي الحجة وصيام اليوم العاشر من محرم وتصوم يومًا قبله أو يومًا بعده، وصيام ستة أيام من شوال، كل ذلك سنة قد صحت به الأحاديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهكذا صيام النصف الأول من شعبان، وصيامه كله أو أكثره، كله سنة، أما تخصيص اليوم الموافق النصف من شعبان بالصوم فمكروه لا دليل عليه

نسأل الله لك المزيد من التوفيق،

وأما صوم رجب مفردًا فمكروه، وإذا صام بعضه وأفطر بعضه زالت الكراهة. ونسأل الله أن يضاعف مثوبتك ويقبل توبتك

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

عضو / عضو / نائب رئيس اللجنة / الرئيس
عبد الله بن قعود /عبد الله بن غديان / عبد الرزاق عفيفي /عبد العزيز بن عبد الله بن باز

المصدر: فتاوى اللجنة الدائمة


Sumber: http://www.muslmh.com/vb/t256187.html


DISKRIPSI:

”Saya adalah seorang lelaki Saudi yang telah sampai usia kurang lebih 27 tahun. Saya masuk penjara sehingga memaksa saya untuk giat beribadah kepada Allah.

Saya berpuasa sbb:

1. Senin – Kamis disetiap minggu
2. Tiga hari disetiap bulan
3. Full bulan Rajab disetiap tahun
4. 10 hari dibulan Dzulhijjah, maksudnya 9 hari di Arofah
5. Asyuroo’, yaitu sehari sebelum Asyuroo’ dan sehari sesudah Asyuroo’
6. Enam hari dibulan syawal
7. Nisfu Sya’ban

PERTANYAAN ADALAH SBB:

“Dikatakan katanya, sesungguhnya puasa itu hanya dibulan Ramadhan, selainnya itu adalah BID’AH karena tidak ditemukannya hadits yang shohih. Padahal sepengetahuan saya, saya telah menemukan hadits shohih di dalam kitab “TANBIHUL GHOFILIN” milik Syaikh Abi Laits Assamarkand.

Saya mengharap sebuah jawaban, apakah puasa puasa dihari hari ini SHOHIH atau BID’AH?
Karena setahu saya teman teman di penjara pada mengatakan bahwa “SESUNGGUHNYA INI ADALAH BID’AH, TIDAK DIPERBOLEHKAN BERPUASA !!

JAWAB:

Berpuasa hari senin dan kamis disetiap minggu, dan berpuasa 3 hari disetiap bulan, dan berpuasa 9 Dzulhijjah dan berpuasa hari Asyuroo’ dibulan Muharram dan kamu berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya dan berpuasa 6 hari dari bulan Syawal itu semua adalah SUNNAH. Telah ada hadits hadits shohih dari Rasulullah mengenai puasa ini semua.

Begitu juga puasa puasa yang dilakukan diseparuh pertama bulan Sya’ban, berpuasa diseluruh separuh pertama bulan Sya’ban atau lebih ini semua adalah SUNNAH.

Adapun jika mengkhususkan puasa di HARI YANG DITEPATKAN DI SEPARUH BULAN SYA’BAN (nisfu sya’ban) maka hukumnya MAKRUH, karena tidak ada dalil atasnya.

Kami memohon semoga Allah senantiasa melimpahkan Taufiq-Nya kepadamu.
Adapun puasa Rajab yang sendirian itu MAKRUH. Jika itu dilakukan dengan cara sebagian hari puasa dan sebagian hari lainnya tidak, maka hilang hukum MAKRUH nya.

Kami memohon kepada Allah agar melipat gandakan pahalamu dan menerima taubatmu.

Dengan Allah segala Taufiq dan semoga shalawat serta salam Allah tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

TIM FATWA SAUDI ARABIA

Anggota : Abdullah bin Qu’uud
Anggota : Abdullah bin Gadiyaan
Wakil Ketua: Abdurrazaaq ‘Afifiy
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Semoga bermanfaat
Salam Aswaja !!

█║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Kaheel’s

Baca Selanjutnya

Kali ini adalah penyanyi muda Saudi Arabia yang bernama Rakan Khaled



By Kaheel Baba Naheel & Hayat Alkafi
Dulu saya pernah posting tentang penyanyi tua legendaris Saudi Arabia yang bernama Muhammad Abduh;

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=336367749758972&set=o.107101919360938&type=3


Kali ini adalah penyanyi muda Saudi Arabia yang bernama Rakan Khaled.

Dia terkenal sejak tahun 2010 dengan album pertamanya yang bertajuk
" خلها على الله "

Berikut klip terbarunya yang berjudul “يا عنيد”

Silahkan di unduh atau diputar disini:

http://www.youtube.com/watch?v=dHvie4OYfrM&feature=relmfu


View image:
http://up.arab-x.com/Sep10/4jq47991.jpg
http://up.arab-x.com/Sep10/4jq47991.jpg

http://www.6rb.com/uploads/photos/25093_121629884521059_100000221450428_302253_2343170_n.jpg


Bagi para pecinta musik timur tengah, selamat menikmati !!
http://www.khabar3ajel.com/wp-content/uploads/2011/05/Rakan-21.jpg

http://www.ct-7ob.com/vb/imgcache/102061.png

http://desmond.imageshack.us/Himg810/scaled.php?server=810&filename=25496548.png&res=landing

http://www.m5zn.com/uploads/2010/9/9/photo/090910210926ast0woz2dsb7.jpg

http://profile.ak.fbcdn.net/hprofile-ak-snc4/276421_126301180734115_120171850_n.jpg

http://www.mbc.net/.imaging/stk/mbc/photo-mod4/media/MIGRATION-IMAGE/rakan/original/b122dac6df4ea3c33d772aec79167b5840fe262c/rakan.jpg

http://www.mbc.net/.imaging/stk/mbc/photo-mod4/media/MIGRATION-IMAGE/stayel-l/original/cdfaf07b597e0c7934576431791c136b46ceebae/stayel-l.jpg

http://i.ytimg.com/vi/aiLlGViRf50/hqdefault.jpg

Demikian baba naheel melaporkan

Baca Selanjutnya

Kamis, 28 Juni 2012

Ini adalah kuburannya Ibrahim bin Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam



By Kaheel Baba Naheel
Ini adalah kuburannya Ibrahim bin Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. yang berada di pemakaman BAQI' AL GHORQOD Madinah Al Munawaroh.

Ia dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Mariyah Al Qibtiyah.
Ia meninggal dunia dalam usia 16/17/18 bulan.

Seandainya ia hidup hingga dewasa dan berumah tangga hingga mempunyai keturunan, apa kiranya yang terjadi ya?

Atau seandainya Nabi Muhammad sendiri mempunyai saudara kandung laki laki maupun perempuan, bagaimana kira kira ceritanya?

Allah Maha Bijaksana lagi Maha Adil.

Dalam sebuah hadits shohih maupun dhoif, seusai proses penguburan putranya ini, beliau saw menyiramkan air diatas kuburannya.

Berikut petikan kedua hadits tsb:

أخبرنا إبراهيم بن محمد عن جعفر بن محمد عن أبيه قال : " أن النبي صلى الله عليه وسلم رش على قبر ابراهيم ابنه ووضع عليه حصباء
رواه الشافعى

ضعفه الالبانى فى ارواء الغليل 755

Sesungguhnya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam menyiramkan air di atas kuburan Ibrahim putra beliau dan beliau meletakkan kerikil kerikil diatas kuburannya. HR. Imam Syafi’i.

عن عبدالعزيز بن محمد عن عبدالله بن محمد عن أبيه قال: أن النبي صلى الله عليه وسلم رش على قبر ابراهيم ابنه الماء
رواه ابو داود والبيهقى

صححه الالبانى فى سلسلة الصحيحه 3045

Sesungguhnya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam menyiramkan air di atas kuburan putra beliau, Ibrahim. HR. Abu Dawud & Al Baihaqiy.

http://www2.irib.ir/worldservice/arabicradio/Gifs/Gallery/Holy-place/Madineh/madineh-08.jpg

http://i256.photobucket.com/albums/hh196/alsudani_2000/e9a45827.jpg

http://www.alshirazi.net/maqalat/2/015.jpg

http://www.mediafire.com/imgbnc.php/0ad965674101d29b7c2943dfcb65c6b84g.jpg

http://i256.photobucket.com/albums/hh196/alsudani_2000/e9a45827.jpg

masalah keturunan nabi, ini akhi haditsnya:

وروى الطبراني والخطيب عن ابن عباس قال ، قال رسول الله صلى الله صلى الله عليه وسلم ، لم يبعث الله نبيا قط ، الا جعل ذريته من صلبه غيري فان الله جعل ذريتي من ضلب علي ، رضي الله عنه

وروى الإمام احمد والطبراني وأبو يعلى والمحب الطبري ان عمر بن الخطاب ، رضي الله عنه ، خطب إلى علي بن أبي طالب أم كلثوم فاعتل عليه بصغرها ، فقال إني لم أرد الباه ولكني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة ما خلا سببي ونسبي ، وكل ولد أب فان عصبتهم لأبيهم ، ما خلا ولد فاطمة ، فاني أنا أبوهم وعصبتهم

واخرج الطبراني عن عمر بن الخطاب عن النبي صلى الله عليه وسلم : ( كل بني أنثى فان عصبتهم لأبيهم ، ما خلا ولد فاطمة ، فاني أنا عصبتهم ، وأنا أبوهم
_____________

lagi haditsnya:

براهيم ابن النبي-صلى الله عليه وسلم-:

أمه مارية القبطية، أهداها له المُقوقس، وُلد بالمدينة في ذي الحجة سنة ثمانٍ، ومات بها سنة عشرٍ وهو ابن سبعة عشر شهراً، أو ثمانية عشر شهراً، وكُسفت الشمسُ يومَ مات، فقال الناس: كُسفت الشمس لموت إبراهيم، فقال -صلى الله عليه وسلم-: (إنّ الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا ينكسفان لموت أحدٍ ولا لحياته

REFERENSI:

رواه البخاري (1052) ( 2/ 627) كتاب الكسوف – باب صلاة الكسوف جماعة، ومسلم (907) ( 2/ 626) كتاب الكسوف- باب ما عرض على النبي في صلاة الكسوف من أمر الجنة والنار، والموطأ (1/186-187). وأبو داود (1181



Wallahu a’lam


Semoga kita senantiasa ingat mati
Demikian baba naheel melaporkan


Baca Selanjutnya

BAQI' AL GHORQOD

http://www.online-saudi.com/online-saudi/wp-content/uploads/2011/05/440163_orig.jpg



By Kaheel Baba Naheel & Hayat Alkafi

Mungkin yang menjaga pekuburan BAQI' AL GHORQOD alias laskar laskar berjubah telah capek mengusir sana sini, menghardik sana sini, berkhutbah sana sini, melotot sana sini, berdalil sana sini seharian dan ditambah hawa gerah nan panas wa bil khusus bagi yang pake jubah.

Hmmm... memang berat dan susah memperjuangkan sunnah itu ya akhi...
Aku cuma tersenyum disaat jalan jalan menjumpai orang arab ini yang sedang asyik khusyuk membaca Al Qur'an disini...

jepret dulu ah !!


Semoga kita ingat mati !!

Demikian baba naheel melaporkan




Baca Selanjutnya

Rabu, 27 Juni 2012

Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin terjebak dengan pembagian bid'ah




By Peparing E' Illahi/Moch. Atho' Illah.

Golongan yang anti dengan bid'ah hasanah dasarnya adalah hadits yang berbunyi : "An Jabir ibni Abdillah qol, qola Rosulullah SAW: "inna khoirol haditsi kitabullahi wa khoirol huda huda muhammadin wa sarrul umuuri muhdasaatuha wa kullu bid'atin dholalatu" ( Rowahu Muslim )

Artinya: Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah Saw bersabda: sebaik-baik ucapan adalah Kitab Allah, sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid'ah adalah sesat.

Menurut mereka hadits di atas sangat tegas mengatakan bahwa semua bid'ah itu sesat, dalam hal ini saya akan mengutip qoul dari ulama' yang mereka anggap paling top yaitu Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin dalam kitabnya yang mreka anggap pula sabagai kitab yang paling mu'tabar yaitu kitab "al-ibda' fi kamalis syar'i wa khotoril ibtida' halaman 13 " : "qouluhu ( kullu bid'atin dholalatun ) kulliyatun, aammatun, syaamilatun, musyawwarotun bi aqwaa adawaatis syumuuli wal umumi ( kullu ), afaba'da hadzihil kulliyati yasihhu an nuqossimal bid'ata ila aqsaami tsalasatin, aw ila aqsami khomsatin? ABADAN LA YASIHHU" ( hal 13 )
Artinya: "Hadits (smua bid'ah adalah sesat) bersifat general, umum, menyeluruh, di pagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata "kullu ( sluruh )", apakah stelah ktetapan menyeluruh ini kita di benarkan membagi bid'ah menjadi 3 bagian/menjadi 5 bagian? SELAMANYA TIDAK AKAN BENAR"

Pernyataan Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin memberikan pengertian bahwa hadits "smua bid'ah adalah sesat" tanpa terkecuali, hingga tidak ada satupun bid'ah hasanah apalagi bid'ah mandubah ( yang mendatangkan pahala bagi pelakunya ), alasan Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin ini menolak pembagian bid'ah adalah kosakata "kullu", tapi anehnya Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin ini berkomentar lagi yang berlawanan arah, dalam halaman lain yaitu halaman 18-19 dalam kitab yang sama :

"wa minal qowa'idil muqorroroti annal wasa'ila laha ahkamul maqosidi fa wasaa'ilul masyru'i masyruu'atun wa wasaa'ilu ghoiril masyru'i ghoiru masyruu'atin bal wasaa'ilul muharromi haroomun, fal madarisu wa tasniful ilmi wa ta'liful kutubi wa in kaana bid'atan lam yuujad fii ahdin nabi saw, ala hadzal wajhi illa annahu laysa maqsodan bal huwa washilatun wal wasaa'ilu laha ahkamul maqoosid, wa lihadza lau banaa syakhsun madrosatan lita'limil ilmin muharromin kaana al binaa'u harooman wa lau banaa madrosatan lita'limi ilmi syar'iyyin kaana al binaa'u masyruu'an",

Dalam qoul di atas yang di halaman 18-19 telah membatalkan tesis qoul sebelumnya yang di halaman 13 bahwa semua bid'ah itu semua sesat tanpa terkecuali dan sesat tempatnya di neraka dan SELAMANYA TIDAK AKAN BENAR membagi bid'ah menjadi 3 apalagi menjadi 5, lalu Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin menyatakan bahwa membangun madrosah, menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bid'ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun hal ini adalah bid'ah yang belum tentu sesat, belum tentu ke neraka, hehe bahkan Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin dalam soal ini membagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan hukum tujuannya. ( aneh tapi nyata )

Ada lagi qoulnya Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin yaitu dari kitab syarh aqidah al wasithiyyah hal 336 yg menyatakan kata "kullu" bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian dan pembatasan seperti ini:

"anna mitsla hadza at ta'bir ( kullu syai'in ) aammun qod yuroodu bihil khossu, mitslu qoulihi ta'ala an malikati saba'in: ( wa 'uutiyat min kulli syai'in ), wa qod khoroja syai'un katsiirun lam yudkhol fii mulkiha minhu syai'un mitslu mulki sulaiman"

Artinya: contoh seperti redaksi "kullu syai'in ( segala sesuatu )" adalah kalimat umum yang terkadang di maksudkan pada makna yang terbatas, seperti firman Allah tentang Ratu Saba' : "ia di karuniai segala sesuatu" ( surat an-naml ayat 23 ) padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman As"

Dalam qoul yang di atas ternyata Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin mengakui bahwa tidak semua kata "kullu" dalam teks Al-Qur'an/Hadits bermakna general ( am ) tetapi ada yang bermakna terbatas ( khosh ), rupanya Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin terjebak dalam pembagian bid'ah menjadi beberapa bagian, ada qoulnya lagi yang tak kalah nyeleneh : "al-aslu fii umuurid dunya al hillu fama ubtudi'a minha fahuwa halaalun, illa an yadullu ad daliilu ala tahriimihi, lakin umuurud diinil aslu fiihal hadzoru, fama ubtudi'a minha fahuwa haroomun bid'atun, illa bi daliilin minal kitabi was sunnati ala masyru' iyyatihi" ( Al-Utsaimin, Syarh aqidah al-wasithiyyah sohifa- 639-640 )

Artinya: "hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal, jadi bid'ah dalam urusan-urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil menunjukkan keharamannya, tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama adalah dilarang, jadi berbuat bid'ah dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid'ah, kecuali ada dalil dari Kitab dan Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya"

Jadi qoul Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin di atas ini membatalkan tesis sebelumnya bahwa qoul yang pertama semua bid'ah secara keseluruhan adalah sesat dan sesat itu tempatnya di neraka. Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin membatalkannya dengan qoulnya yang menyatakan bahwa "bid'ah dalam urusan dunia halal semua kecuali ada dalil yang melarangnya, dan bid'ah dalam urusan agama adalah haram sebab bid'ah semuanya kecuali ada dalil yang membenarkannya, dengan klasifikasi bid'ah menjadi 2

Aneh dan sungguh lucunya adalah : bid'ah dalam hal dunia dan bid'ah dalam hal agama, dan memberi pengecualian dalam masing bagian, ini sebuah bukti bahwa Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin tidak konsisten dengan pernyataan awalnya bahwa "tidak ada pembagian dalam bid'ah"

Lihat dan perhatikan ini ya dengan teliti qoul pertama Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin di الكتاب: الإبداع في بيان كمال الشرع وخطر الابتداع hal 13 :
=================
فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار» (1) . ويعلمون أن قوله «كل بدعة» كلية عامة شاملة مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم «كل» والذي نطق بهذه الكلية صلوات الله وسلامه عليه يعلم مدلول هذا اللفظ وهو أفصح الخلق، وأنصح الخلق للخلق لا يتلفظ إلا بشيء يقصد معناه. إذن فالنبي صلى الله عليه وسلّم حينما قال: «كل بدعة ضلالة» كان يدري ما يقول، وكان يدري معنى ما يقول، وقد صدر هذا القول منه عن كمال نصح للأمة.
وإذا تم في الكلام هذه الأمور الثلاثة ـ كمال النصح، والإرادة، وكمال البيان والفصاحة وكمال العلم والمعرفة، دل ذلك على أن الكلام يراد به ما يدل عليه من المعنى أفبعد هذه الكلية يصح أن نقسم البدعة إلى أقسام ثلاثة، أو إلى أقسام خمسة؟ أبداً هذا لا يصح


Setelah berkomentar seperti itu, lalu Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin berkomentar lagi yang lebih nyeleneh dan bertentangan dengan membandingkan komentar sebelumnya

ومن القواعد المقررة أن الوسائل لها أحكام المقاصد فوسائل المشروع مشروعة، ووسائل غير المشروع غير مشروعة، بل وسائل المحرم حرام. والخير إذا كان وسيلة للشر كان شرّاً ممنوعاً واستمع إلى الله عز وجل يقول: {وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ} (الأنعام 108) ، وسب آلهة المشركين ليس عدواً بل حق وفي محله لكن سب رب العالمين عدو وفي غير محله وعدوان وظلم، ولهذا لما كان سب آلهة المشركين المحمود سبباً مفضياً إلى سب الله كان محرماً ممنوعاً، سقت هذا دليلاً على أن الوسائل لها أحكام المقاصد فالمدارس وتصنيف العلم وتأليف الكتب وإن كان بدعة لم يوجد في عهد النبي صلى الله عليه وسلّم على هذا الوجه إلا أنه ليس مقصداً بل هو وسيلة والوسائل لها أحكام المقاصد. ولهذا لو بنى شخص مدرسة لتعليم علم محرم كان البناء حراماً ولو بنى مدرسة لتعليم علم شرعي كان البناء مشروعاً

Yang lebih aneh lagi adalah, tulisan di atas adalah salah satu bukti dari sekian banyak bukti valid akan kuwalitas keilmuan salah satu ulama andalan sekte salafi/wahabi, tapi meskipun aneh dan lucu begitu tetap saja mereka ikuti

Wkekekekekekek ^_^

Peparing E' Illahi/Moch. Atho' Illah.
======================
Surabaya, 18-Oktober-2011, 14-00

Baca Selanjutnya

Senin, 25 Juni 2012

AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT



By  AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Hadits Ke Tiga:

Ummu Thufail; perempuan Ubay meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah berkata:

(قيل) أنّه رَأى ربّهُ عزّ وَجلّ فِي الْمَنام فِي أحْسَن صُوْرَة شَابًّا مُنَوَّرًا فِي خُضْرٍ، فِي رجْلِه نعْلانِ مِنْ ذَهَبٍ وَعَلَى وَجْههِ فرَاشٌ مِنْ ذهَب

[Ini hadits palsu, tidak boleh kita ambil, sangat menyesatkan, makna literalnya mengatakan: ”Sesungguhnya ia (Rasulullah) telah melihat Allah dalam mimpinya dalam bentuk yang paling indah; yaitu Dia sebagai anak muda yang bercahaya kehijauan, pada kaki-Nya dua sendal dari emas, dan pada wajah-Nya ada kupu-kupu dari emas”]
Hadits ini diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad. Imam Ibnu Adiy berkata: “Dia (Nu’aim bin Hammad) adalah seorang pemalsu hadits”. Imam Ahmad bin Hanbal seuatu ketika ditanya tentang Nu’aim, lalu beliau memalingkan muka (mengingkarinya), seraya berkata: “Hadits yang diriwayatkan olehnya adalah hadits munkar dan majhul [tidak dikenal dan tidak memiliki dasar]”.

            Kemudian ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) رَأيْتُ رَبّيْ جَعْدًا أمْرَدَ عَلَيْهِ حُلّةٌ خَضْرَاء

[Hadits palsu, menyesatkan, makna literalnya mengatakan: “Aku (Rasulullah) telah melihat Tuhan-ku berambut keriting (kribo), tidak berjanggut (seperti anak muda), di atas-Nya adalah mahkota hijau”].

Hadits ini diriwayatkan dari jalur Hammad bin Salamah. Dia memiliki saudara tiri zindik [kafir karena kesesatan-kesesatannya] bernama Ibnu Abil Awja’. Dia banyak memasukan riwayat palsu di dalam kitab-kitab Hammad bin Salamah yang sama sekali tidak memiliki dasar, karenanya riwayat-riwayat semacam ini tidak dapat dijadikan dalil sedikitpun.

            Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim menetapkan sifat-sifat bagi Allah “seenakperutnya”, ia mengatakan bahwa Allah adalah sebagai anak muda yang tidak berjanggut, rambut keriting menggumpal, wajah-Nya dikelilingi kupu-kupu emas, memakai dua sandal, dan mengenakan mahkota di kepala-Nya; lalu Abu Ya’la berkata: “Itu semua tidak seperti yang kita bayangkan”. Padahal apa yang diriwayatkannya itu sama sekali tidak benar, kita semua telah tahu bahwa ketika dikatakan: “Anak muda, tidak berjanggut, ...” dan seterusnya; maka semua itu tidak ada pemahaman lain kecuali dalam pemahaman bentuk dan benda. Sementara Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “Itu semua tidak seperti yang kita pikirkan (bayangkan)”, ini sama saja dengan mengatakan: “Si fulan berdiri tapi tidak berdiri”, atau: “Si fulan duduk tapi tidak duduk”. [Kata-kata yang sama sekali tidak bisa diterima sehat akal).

            Imam Ibnu Aqil al-Hanbali berkata: “Kita pastikan bahwa hadits seperti ini adalah hadits bohong (palsu). Walaupun yang meriwayatkannya orang-orang terpercaya (tsiqah) tetapi jika isi redaksinya adalah perkara mustahil semacam ini maka semua itu tidak dapat diterima. Perumpamaannya jika ada sekelompok orang terpercaya memberitahukan bahwa ada seekor kuda gemuk yang sangat besar masuk ke dalam lubang jarum; maka berita mereka tidak dapat dibenarkan karena itu perkara mustahil walaupun yang menyampaikannya orang-orang yang sangat terpercaya”.

Baca Selanjutnya

Pembahasan Hadits Yg Menyebutkan كَفّ, كَتِفِ, dan بَرْدَ pada hak Allah



By  AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Hadits Ke Dua:

Dari Abdurrahman bin Ayyash dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:

(قيل) رَأيْتُ رَبِّي فِي أحْسَن صُوْرَة، فقَالَ لِي: فِيْمَ يَخْتَصِمُ الْمَلأ الأعْلَى يَا مُحَمّد؟ قُلتُ: أنْتَ أعْلَم يَا رَبّ، فَوضَع كَفّهُ بَيْنَ كَتِفِيْ، فَوَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيِي، فَعَلِمْتُ مَا فِي السّمَوات وَالأرْض

[Hadits ini tidak boleh dijadikan dalil, makna literalnya tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Aku melihat Tuhanku dalam bentuk yang sangat indah. Dia berkata: dalam masalah apakah al-Mala’ al-A’la (para malaikat) berselisih wahai Muhammad? Aku berkata: Engkau lebih mengetahui wahai Tuhanku. Maka kemudia Dia meletakan telapak tangan-Nya pada pundaku hingga aku merasakan sejuknya di antara dadaku, maka aku mengetahui segala apa yang ada di seluruh langit dan bumi”].

Imam Ahmad bin Hanbal: “Asal hadits ini dan seluruh jalan periwayatannya mudltharib [artinya redaksi dan jalur sanadnya sangat banyak yang satu sama lainnya saling berbeda; menyebabkan hadits ini tidak bisa dibenarkan; termasuk kategori hadits dla’if]. Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) أتَانِي آتٍ فِي أحْسَن صُوْرَة، فقَال: فِيْمَ يَخْتَصِم الْمَلأ الأعْلَى؟ فقُلتُ: لا أدْرِيْ، فوَضَع كَفّهُ بَيْنَ كَتِفي، فوَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيي، فَعَرَفْتُ كُلّ شَىءٍ يَسْألُنِيْ عَنْهُ

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan seperti pemahaman yang senada dengan riwayat sebelumnya di atas; seakan Allah sebagai bentuk, memiliki telapak tangan yang sejuk, dan bahwa Allah bersentuhan]
Sementara dalam hadits riwayat Tsauban berkata: Suatu ketika Rasulullah keluar setelah shalat subuh, beliau bersabda:

(قيل) إنّ رَبّي أتَانِي اللّيلَة فِي أحْسَن صُوْرَة، فقَالَ لِي: يَا مُحَمّد فيْمَ يَخْتَصِمُ الْمَلأ الأعْلَى؟ قلتُ: لا أعْلَمُ يَا رَبّ، فوَضَع كَفّهُ بَيْنَ كَتِفِي حَتّى وَجَدْتُ بَرْدَ أنَامِلِهِ فِي صَدْرِي، فَتَجَلّى لِي مَا بَيْنَ السّمَاءِ وَالأرْض

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan seperti pemahaman yang senada dengan riwayat sebelumnya di atas; seakan Allah sebagai bentuk, memiliki telapak tangan yang sejuk, jari-jemari, dan bersentuhan]
Semua hadits ini berbeda satu dengan lainnya (Mukhtalifah) [dengan demikian hadits dengan kualitas semacam ini tidak dapat dijadikan dalil, terlebih dalam masalah akidah; karena masuk kategori Dla’îf]. Pemahaman redaksinya menunjukan bahwa peristiwa tersebut terjadi dalam mimpi, dan mimpi itu adalah prasangka (al-Wahm), dan prasangka itu bukan hakekat. Dalam mimpi seseorang dapat melihat dirinya terbang, dapat melihat dirinya menjadi seekor binatang. Benar, dimungkinkan bagi sebagian orang dapat melihat Allah dalam tidur mereka, namun tidak dibenarkan jika kemudian apa yang ia lihatnya dari benda, bentuk, sinar, tubuh dan lainnya sebagai Allah.

Dan seandainya jika kita mengatakan bahwa hadits tersebut terjadi dalam keadaan terjaga; bukan dalam mimpi; maka makna “shûrah” jika yang dimaksud adalah Allah tentu dalam makna “shifat”; artinya bahwa Allah yang maha sempurna dan maha luas rahmat-Nya. Dan jika yang dimaksud dari “shûrah” adalah Rasulullah maka artinya bahwa beliau; Nabi Muhammad dalam keadaan yang keadaan yang sangat sempurna.

Sementara itu Ibnu Hamid al-Mujassim meriwayatkan hadits palsu, mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda: “Ketika di-isra’-kan aku melihat Allah dalam bentuk seorang anak muda yang tidak berjanggut, bersinar yang gemerlap. Aku meminta kepada-Nya agar Dia memuliakanku dengan dapar melihat kepada-Nya; maka nampaklah bagiku seakan Dia seorang pengantin yang dibuka dari penutupnya, tengah duduk manis di atas singgasananya”.

Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hamid ini adalah dusta besar yang sangat buruk. Hadits seperti itu tidak pernah ada; baik di antara hadits-hadits sahih, bahkan di antara hadits-hadits palsu yang pernah ada sekalipun. Kita telah jelaskan bahwa redaksi hadits di atas memberikan pemahaman dalam mimpi, sementara Ibnu Hamid al-Mujassim ini mengatakan itu terjadi pada saat Isra’?? [Na’udzu Billah]. Allah maha suci dari segala apa yang telah diperbuat oleh Ibnu Hamid dan orang-orang semacamnya, dan Allah pasti membalas mereka dengan naraka. Mereka adalah orang-orang buruk yang telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; mengatakan bahwa Allah laksana pengantim. Jelas, yang menuliskan keyakinan semacam ini bukan seorang muslim.

Adapun riwayat hadits di atas yang menyebutkan redaksi “البرد” [yang secara literal berarti dingin]; sesungguhnya makna al-bard ini adalah sifat benda, jelas tidak layak dan tidak boleh Allah disifati dengannya. Padahal al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim dalam kitabnya; al-Kinayah, memberlakukan takwil terhadap hadits: “رأيت ربي في أحسن صورة”; ia memaknainya: “في أحسن موضع”, [ia mentakwil kata “صورة” dengan “موضع”; lalu mengapa mereka memahami hadits-hadits semacam ini dalam pemahaman literalnya; tidak memakai takwil?].

Baca Selanjutnya

Makna Hadits Sahih Riwayat Bukhari & Muslim: فَيأتيْهِمُ اللهُ تعَالَى فِي غَيْر الصّوْرَة الّتي يَعْرِفُوْن



By  AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Hadits ke lima:

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab Sahih masing-masing meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) يَجْمَع اللهُ النّاسَ فَيقُوْل: مَنْ كَانَ يَعْبُدُ شَيئًا فَلْيَتّبعْه، فَيَتّبِعُوْن مَا كانُوا يَعْبُدُوْن، وَتَبْقى هذِه الأمّة بِمُنَافِقِيْهَا، فَيأتيْهِمُ اللهُ تعَالَى فِي غَيْر الصّوْرَة الّتي يَعْرِفُوْن، فَيقُول: أنَا رَبّكُمْ، فَيقُوْلوْنَ: نَعُوْذ باللهِ تعَالَى منْكَ هَذَا مَكَانُنَا حَتّى يأتِيَنَا رَبُّنَا، فإذَا جَاءَ رَبُّنَا عَرفْنَاه، فيأتيْهِمْ فِي الصّوْرَة الّتي يَعْرِفُوْنَها، فيقُوْل: أنا رَبّكُمْ، فيقُوْلوْن: أنْتَ رَبّنَا

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Allah akan mengumpulkan manusia, Dia berkata: “Siapa di antara kalian menyembah sesuatu maka ikutilah ia”, maka mereka mengikuti segala apa yang telah mereka sembah [di dunia], tersisalah umat ini dengan orang-orang munafiknya, lalu Allah mendatangi mereka bukan pada bentuk yang mereka kenal, Dia berkata: “Aku adalah Tuhan kalian”, mereka berkata: “Kami berlindung dengan Allah darimu [engkau bukan Allah], kami akan tetap di tempat kami ini hingga Tuhan datang pada kami, bila Dia datang maka kami akan mengenali-Nya”, maka kemudian Allah mendatangi mereka pada bentuk yang mereka kenal, Dia berkata: “Aku adalah Tuhan kalian”, lalu mereka berkata: “[Benar], Engkau adalah Tuhan kami”.

Hadits lainnya masih dalam dua kitab Sahih di atas, dari sahabat Abu Sa’id bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) فَيأتِيْهِم الْجَبّارُ فِي صُوْرَة غَيْر صُوْرتهِ الّتي رَأوْه فيْهَا أوّلَ مَرّة، فيقُوْل: أنا رَبّكُمْ، فيقُولُونَ: أنْتَ رَبّنَا فَلا يُكَلّمُه إلا الأنبيَاءُ عَليهمُ الصّلاة وَالسّلام، فيُقَال: هَلْ بَينَكُمْ وَبينَهُ آيةٌ تَعْرفُوْنَهَا؟ فيقُولُون: السّاق، فَيُكْشَفُ عَنْ سَاقهِ فَيَسْجُد لهُ كُلّ مُؤْمِن

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “…maka Allah mendatangi mereka dengan bentuk yang bukan bentuk-Nya semula, Dia berkata: “Aku adalah Tuhan kalian”, mereka berkata: “[Benar], Engkau adalah Tuhan kami”, maka tidak ada yang berbicara dengan-Nya kecuali para Nabi. Lalu dikatakan pada mereka: “Adakah kalian mengetahui suatu tanda untuk mengenal-Nya?”, mereka berkata: “Betis”, maka kemudian dibukakanlah betis-Nya, hingga kemudian setiap orang mukmin sujud bagi-Nya”].

Ketahuilah, setiap orang muslim wajib berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang berbentuk, berukuran, dan terdiri dari susunan-susunan. Imam Abu Sulaiman al-Khathabi berkata: “Pengertian: “فيأتيهم الله تعالى” bukan dalam pengertian bahwa Allah bergerak, pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi makna teks ini untuk mengungkapkan bahwa kelak di akhirat mereka akan melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing, sebagaimana ketika di dunia ini mereka melihat segala sesuatu dari makhluk Allah yang itu semua sebagai bukti bagi keberadaan-Nya. Penglihatan mereka terhadap Allah dari yang semula mereka tidak pernah melihat-Nya; inilah tujuan diungkapkan dengan kata “فيأتيهم الله”.

Pendapat sebagian ulama lainnya dalam makna hadits di atas mengatakan: “Akan datang puncak kesulitan yang akan terjadi terhadap seluruh makhluk di hari kiamat kelak, dan mereka juga akan melihat bentuk-bentuk para malaikat Allah; padahal mereka semua tidak pernah mendapati kejadian seperti itu ketika mereka di dunia. Dalam keadaan seperti ini maka orang-orang mukmin berlindung kepada Allah, mereka berkata: “Jika datang tanda-tanda kasih sayang Allah maka kita akan mengetahuinya [artinya mengetahui bahwa itu sebagai rahmat dari-Nya], inilah makna yang dimaksud dengan redaksi hadits di atas  “فيأتيهم في الصورة التي يعرفونها”. Maka kemudian Allah membuka segala kesulitan yang menimpa orang-orang mukmin tersebut [artinya menghilangkan dan mengangkat segala kesulitan tersebut] dan makna inilah yang dimaksud: “فيكشف عن ساق”. Setelah itu maka kemudian mereka sujud kepada Allah sebagai bukti syukur kepada-Nya”.
Sementara pendapat ulama lainnya mengatakan: “Sesuatu yang berbentuk tersebut adalah untuk menguji [iman] mereka [bukan artinya sesuatu tersebut adalah Allah], sebagaimana Allah mengirimkan Dajjal ke dunia ini [sebagai salah satu tanda besar hari kiamat] di mana ia mengaku sebagai Allah; adalah untuk menguji iman manusia. Kelak orang-orang mukmin saat melihat Dajjal tersebut akan berkata: “نعوذ بالله منك” [Kami berlindung dengan Allah darimu].
Pemahaman ini sejalan dengan sebuah hadits dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ النّاسَ يَقُوْلُوْنَ: إنّ لنَا رَبّا كُنّا نَعْبدُه فِي الدّنْيا، فيُقَال: أوَ تَعْرفُوْنَه إذَا رَأيْتُمُوْه؟ فيقُوْلُوْن: نَعَمْ، فيُقَال: كَيْفَ تَعْرفُونَهُ وَلَم تَرَوْه؟ فَيَقُوْلوْن: إنّهُ لا شَبيْهَ لَهُ، فَيُكْشَفُ الْحِجَابُ فَينْظُرُوْن إلَى الله عَزّ وَجَلّ فَيَخِرُّوْنَ سُجّدًا

[“Sesungguhnya manusia (di akhirat) berkata: “Sungguh kami memiliki Tuhan yang telah kami sembah ketika di dunia”, dikatakan kepada mereka: “Apakah kalian mengenal-Nya jika kalian melihat-Nya?”, mereka berkata: “Iya”, lalu dikatakan: “Bagaimana kalian mengenal-Nya padahal kalian tidak pernah melihat-Nya?”, mereka berkata: “Sesungguhnya Dia tidak memiliki keserupaan”, lalu dibukakanlah hijab (penghalang) maka mereka melihat kepada Allah, maka mereka semua turun bersujud”].

Imam Ibnu Aqil al-Hanbali berkata: “Makna bentuk (shûrah) secara hakekat adalah sesuatu yang memiliki kerangka-kerangka dan susunan-susunan; dan pastilah merupakan sifat-sifat tubuh. Di antara bukti dalam ketetapan kita bahwa Allah bukan benda [artinya bukan tubuh yang memiliki susunan-susunan] adalah dalil qath’i, yaitu firman-Nya dalam QS. Asy-Syura: 11: “ليس كمثله شىء”. Lalu argumen logis mengatakan: seandainya Allah sebagai benda maka berarti makna “shûrah” dalam teks-teks hadits adalah dalam pengertian sifat benda. Dan jika sifat-sifat Allah sebagai sifat-sifat benda maka berarti boleh terjadi pada-Nya segala sesuatu yang terjadi pada seluruh benda [seperti berubah, hancur, punah, dan lainnya], dan pastilah Dia membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya pada ukuran bentuk (shûrah) tersebut. Lalu bila dikatakan bahWa Allah memiliki tubuh; dan tubuh-Nya itu qadim [tidak bermula] maka berarti boleh jadi pula bahwa ada di antara makhluk ini yang qadim; karena sama-sama memiliki tubuh. Dengan demikian kita harus mentakwil makna “shûrah” yang dimaksudkan dalam hadits tersebut dan tidak boleh dipahami bahwa Allah sebagai benda.

Baca Selanjutnya

al Imam al Hafizh Abdurrahman Ibnul Jawzi Membongkar Kesesatan Aqidah Tasybih (Bab Hadits) [Hadits 4]



By  AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Hadits Ke Empat:

Dari sahabat Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل): لَيْلَةَ أُسْريَ بِيْ رَأيْتُ كُلّ شَىءٍ مِنْ رَبّيْ، حَتّى رَأيتُ تَاجًا مُخَوّصًا مِنْ لُؤْلُؤ

[Ini hadits palsu, tidak boleh kita ambil, makna literalnya mengatakan: “Di malam saat aku di-isra’-kan aku melihat segala sesuatu pada Tuhanku, hingga aku melihat mahkota yang bertahtakan berlian”].

Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Qasim Muhammad bin Ilyasa’ dari Qasim bin Ibrahim. Tentang siapa Abul Qasim Muhammmad bin Ilyasa’; al-Azhari berkata: ”Aku pernah duduk sesaat bersamanya, tiba-tiba ia berkata: Semenjak aku duduk bersamamu aku telah mengkhatamkan satu bacaan al-Qur’an”. [Artinya orang ini senang bedusta, bagaimana mungin hanya duduk beberapa saat lalu ia mengatakan telah mengkhatamkan seluruh bacaan al-Qur’an?]. Sementara tentang Qasim bin Ibrahim dikatakan oleh Imam ad-Daraquthniy: ”Dia seorang pendusta”. Semoga Allah membalas kejahatan orang-orang yang membuat hadits-hadits palsu.

Baca Selanjutnya

Makna Hadits: لاَ شَخْصَ أغْيَرُ مِنَ اللهِ وَلذَلكَ حَرّمَ الفَوَاحِشَ، وَلاَ شَخْصَ أحَبّ إلَيه الْمَدْحَة مِنَ الله



By  AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Hadits Ke Enam:

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahih dari sahabat al-Mughirah bahwa Rasulullah bersabda:

لاَ شَخْصَ أغْيَرُ مِنَ اللهِ وَلذَلكَ حَرّمَ الفَوَاحِشَ، وَلاَ شَخْصَ أحَبّ إلَيه الْمَدْحَة مِنَ الله

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Tidak ada satu sosok-pun yang lebih cemburu dari pada Allah, karena itulah Allah mengharamkan segala keburukan (kejahatan). Dan tidak ada seorang-pun yang lebih senang terhadap pujian dari pada Allah”. Makna literal ini seakan mengatakan bahwa Allah sebagai sosok, tubuh, atau benda].
Kata “لا شخص” adalah redaksi dari beberapa orang perawi. Sementara sebagian perawi lainnya dengan menggunakan redaksi “لا شىء أغير من الله”. Terkait dengan hadits ini kebanyakan para perawi meriwayatkannya dengan redaksi yang mereka anggap sebagai maknanya, termasuk penyebutan kata “شخص” adalah dari redaksi yang buat oleh para perawi sendiri.

            Adapun pengertian dari hadits tersebut ialah: “Tidak ada sesosok-pun dari kalian…”. [Artinya, yang dituju adalah sosok-sosok sahabat Rasulullah yang ada bersamanya saat itu]. Oleh karena para sahabat berada di hadapan Rasulullah maka Rasulullah menegaskan dengan penyebutan kata “sosok” (syakhsh); artinya Rasulullah menyebutkan nama-nama mereka. Kata “sosok” (syakhsh) itu sendiri hanya diperuntukan bagi benda yang memiliki susunan-susunan. [Artinya mustahil Allah disebut dengan “sosok”]. Perumpamaan penggunaan bahasa semacam ini seperti perkataan sahabat Abdullah bin Mas’ud:

وَمَا خلقَ منْ جَنّة وَلا نَار أعْظَم منْ ءايَة الكُرْسيّ

Makna literal teks ini mengatakan: “Tidak ada makhluk, baik surga maupun neraka, yang lebih agung dari ayat kursi” [Makna literal ini seakan menyebutkan bahwa ayat Kursi (atau al-Qur’an) adalah makhluk sebagaimana surga dan neraka, padahal yang dimaksud bukan demikian. Kata “makhluk” di sini kembali kepada kata surga dan neraka, bukan kembali kepada ayat Kursi. Demikian pula dengan maksud hadits di atas; bukan untuk menetapkan bahwa Allah sebagai “sosok” (syakhsh), tetapi kata “شخص” di situ kembali kepada para sahabat yang ada di hadapan Rasulullah].

Dalam menjelaskan perkataan sahabat Abdullah bin Mas’ud di atas Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kata “خلق” kembali kepada kata “الجنة” (surga) dan “النار” (neraka) bukan yang dimaksud kembali kepada al-Qur’an (ayat kursi). Atau boleh pula dalam pemahaman “al-Mus-tastnâ Min Ghair al-Jins”; artinya bahwa sesuatu “yang dikeculikan” dalam sebuah redaksi bukan bagian [artinya tidak sejenis] dengan segala sesuatu yang tengah dibicarakan dalam redaksi tersebut, contoh semacam ini (al-Mus-tastnâ Min Ghair al-Jins) adalah firman Allah:

مَا لَهُمْ بهِ منْ عِلْمٍ إلاّ اتّبَاعَ الظّنّ

Makna literal ayat ini mengatakan: “Dan tidak ada pengetahuan (ilmu) bagi mereka tentangnya (Nabi Isa); kecuali mereka hanya mengikuti prasangka [bahwa mereka telah membunuhnya]”. [Dalam ayat ini; “sesuatu yang dikecualikan” (al-Mus-tastnâ) adalah kata “prasangka” (zhann), dan zhann ini bukan bagian dari jenis pengetahuan (ilmu)].

            Adapun kata “الغيرة” [dalam redaksi hadits di atas dengan kata “أغير”; yang secara literal bermakna “cemburu”] adalah untuk mengungkapkan kebencian (kemurkaan), [bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah memiliki sifat cemburu]. Karena itu para ulama berkata: “كل من غار من شىء أسندت كراهيته له” [artinya; “Setiap yang cemburu dari sesuatu maka itu artinya orang tersebut benci terhadap sesuatu tersebut”. Contoh seorang suami cemburu bila istrinya berselingkuh; itu artinya suami tersebut membenci perselingkuhan]. Dengan demikian kata “الغيرة” dalam hadits di atas bukan untuk menetapkan bahwa Allah memiliki sifat cemburu, tetapi untuk mengungkapkan bahwa Allah sangat murka jika hamba-hamba-Nya melakukan keburukan dan kejahatan. Oleh karena itulah Allah mengharamkan segala bentuk kejahatan dan keburukan (al-fawahisy) [karena Allah sangat sayang terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin], dan Allah memberikan ancaman terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan tersebut. Untuk pemahaman inilah kemudian Rasulullah dalam haditsnya mengungkapkan dengan redaksi “al-ghayrah”.

Baca Selanjutnya

Al Imam al Hafizh Abdurrahman Ibnul Jawzi Membongkar Kesesatan Aqidah Tasybih (Bab Hadits) [Hadits 7]



By  AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Hadits Ke Tujuh

Sahabat Abu Musa meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

(قيل) إنّ اللهَ تعَالَى خَلَقَ ءَادَم مِنْ قَبْضَةٍ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيْعِ الأرْض

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil karena menyesatkan, mengatakan: ”Sesungguhnya Allah menciptakan Nabi Adam dari segenggam [tanah] yang Dia genggamnya dari seluruh [tanah] bumi”. Makna literal ini mengatakan seakan Allah memiliki genggaman tangan]

Sesungguhnya kata “قبضة” [yang secara literal berarti ”genggaman”] dalam teks ini dengan disandarkan kepada Allah bukan untuk tujuan menetapkan bahwa Allah memiliki genggaman tangan. Ketahuilah, bahwa dalam bahasa Arab itu biasa diungkapkan ”perbuatan seorang hamba” yang disandarkan kepada ”tuannya”. [Artinya, seseorang berbuat suatu perbuatan karena ia perintah oleh tuannya; lalu orang tersebut mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan tuannya. Padahal itu perbuatannya sendiri; ia hanya menyandarkan perbuatan tersebut kepada tuannya]. Contoh penggunaan bahasa seperti ini, dalam al-Qur’an Allah berfirman: “فطمسنا أعينهم” [Secara literal ayat ini bermakna: ”Kami (Allah) hilangkan atau tutupi mata-mata mereka (hingga mereka tidak bisa melihat). kata “طمس” dalam ayat ini disandarkan kepada Allah, padahal itu adalah perbuatan mata mereka sendiri].

Dalam kasus hadits di atas terdapat riwayat yang disebutkan oleh Muhammad bin Sa’ad dalam kitab Thabaqât bahwa Allah telah mengutus Iblis untuk mengambil setiap bagian dari seluruh tanah bumi yang kemudian Allah menciptakan Nabi Adam dari tanah-tanah tersebut, karena itulah Iblis membangkang ketika diperintah oleh Allah untuk sujud [penghormatan] kepada Nabi Adam, Iblis berkata [sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an]:

أأسْجُدُ لِمَنْ خَلقْتَ طيْنًا

[Apakah aku harus bersujud kepada yang telah Engkau ciptakan dari tanah?]

[Dari sini, pemahaman hadits di atas menjadi jelas bahwa penyandaran kata “قبضة” kepada Allah bukan untuk menetapkan bahwa Allah memiliki genggaman tangan, tetapi kata “قبضة” tersebut adalah perbuatan makhluk yang disandarkan kepada Allah, karena Allah memerintah makhluk tersebut untuk mengambil segenggam dari setiap tanah bumi; dalam hal ini makhluk dimaksud adalah Iblis sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibn Sa’ad di atas].

Baca Selanjutnya

Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh



By  AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT
Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut:

بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ.

“Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” .

Baca Selanjutnya

Kerancuan Kalangan Anti Tabarruk

Kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya seringkali ketika mereka terbentur dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama salaf dan khalaf yang bertentangan dengan pendapat mereka, mereka mengatakan:

A. Hadits-hadits tentang tabarruk dan tawassul ini khusus berlaku kepada Rasulullah!.
B. Mereka, para ulama tersebut melakukan perbuatan yang tidak ada dalilnya, dengan demikian harus ditolak, siapa-pun orang tersebut!.

Jawab:
A. Kita katakan kepada mereka: Adakah dalil yang mengkhususkan tabarruk, tawassul dan istighotsah hanya kepada Rasulullah saja?! Mana dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan pendapat kalian, kemudian kalian katakan bahwa khusus berlaku kepada Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini pemahaman para ulama kita tentang hadits-hadits tabarruk dan semacamnya, bahwa mereka memahaminya tidak hanya khusus kepada Rasulullah saja.
Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut:

بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ.

“Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” .

Dalam teks di atas sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”.
Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan:

وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ

“Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diharapkan berkahnya” .

Bahkan dalam kitab al-Hikayat al-Mantsurah karya al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, disebutkan bahwa beliau (adl-Dliya’ al-Maqdisi) mendengar al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali mengatakan bahwa suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah berobat ke mana-mana dan tidak mendapatkan kesembuhan. Akhirnya ia mendatangi kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian ia mengusapkan lengannya ke makam tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh kembali.

As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa mengutip dari al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa beliau berkata:

اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ.

“-Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium setiap yang berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, -salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah-, tentang kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh” .

Tentang keraguan dari sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut Ahmad ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas jelas tidak beralasan sama sekali. Karena pernyataan Ahmad ibn Hanbal tersebut telah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau sendiri, yatiu ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dan al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti telah kita sebutkan di atas.

Al-Badr al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari mengutip dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa ia berkata sebagai berikut:

وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ، قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ: وَلاَ يَبْعُدُ هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ تَعَالَى.

“Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad dan melambaikan tangan terhadap sudut-sudut Ka’bah tentang kebolehan mencium setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada Allah. Karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sebagai sesuatu yang sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb ath-Thabari melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian catatan kakek-ku; Muhammad ibn Abi Bakar dari al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif, bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika melihat mushaf mereka menciumnya. Lalu ketika melihat buku-buku hadits mereka menciumnya, dan ketika melihat kuburan orang-orang saleh mereka juga menciumnya. ath-Thabari mengatakan: Ini bukan sesuatu yang aneh dan bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa termasuk di dalamnya segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) kepada Allah. Wa Allahu A’lam” .

Dari teks-teks ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa para ahli hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al-Bukhari, seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini dengan ‘Umdah al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti Syekh Mar’i al-Hanbali dan lainnya, semuanya memiliki pemahaman bahwa kebolehan tabarruk tidak khusus berlaku kepada Rasulullah saja.

Dari sini, kita katakan kapada orang-orang anti tabarruk: Apa sikap kalian terhadap teks-teks para ulama ini?! Apakah kalian akan akan mengatakan bahwa para ulama tersebut berada di dalam kesesatan, dan hanya kalian yang benar dengan ajaran baru kalian?!

B. Jika dalil-dalil yang telah kita sebutkan itu bukan dalil, lalu apa yang mereka maksud dengan dalil? Apakah yang disebut dalil hanya jika disebutkan oleh panutan-panutan mereka saja?! Siapakah yang lebih tahu dalil dan memahami agama ini, apakah mereka yang anti tabarruk ataukah al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan para ulama ahli hadits dan ahli fikih?! Benar, orang yang tidak memiliki alasan kuat akan mengatakan apapun, termasuk sesuatu yang tidak rasional, bahkan terkadang oleh dia sendiri tidak dipahami.

Catatan lengkap silahkan di sini http://www.facebook.com/note.php?note_id=112866082063643
Baca Selanjutnya

Apa kata wahaby jika ulamanya berkata seperti ini... ???

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin merupakan Syaikhul Wahhabiyah yang fatwa-fatwanya banyak menjadi rujukan pengikut sekte Wahhabiyah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin al-Wahib at-Tamimi atau lebih dikenal dengan Ibn al-Utsaimin. Dalam beberapa fatwanya, terdapat pernyataan menarik yang mungkin jarang di publikasikan oleh pengikut Wahhabiyah tentang bacaaan al-Qur'an untuk orang mati. Berikut diantara pernyataan beliau.



وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان يقرأ و ينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل

"Pembacaan al-Qur'an untuk orang mati dengan pengertian bahwa manusia membaca al-Qur'an serta meniatkan untuk menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa membaca al-Qur'an untuk orang mati memberikan manfaat, akan tetapi do'a adalah yang lebih utama (afdlal)."

Sumber : Majmu Fatawa wa Rasaail [17/220-221] karya Muhammad bin Shalih al-Utsaimin [w. 1421 H]

Tanya kepada anak2 Wahabi; Dalam masalah ini yg sesat itu kalian atau Ibn Utsaimin???????

catatan di sini http://www.facebook.com/note.php?note_id=293008107382772
Baca Selanjutnya

Kebanyakan orang Wahabi mengingkari nama “Wahhabiyyah”,

Kebanyakan orang Wahabi mengingkari nama “Wahhabiyyah”, mereka berkata: “Tidak ada yang namanya kelompok Wahhabi”. Mereka bersikap demikian karena mereka tahu sejarah hitam gerakan wahabi; yang penuh dengan darah, teror, dan pembunuhan, lalu untuk mengelabui orang banyak gerakan mereka itu dibungkus dengan nama “Salafi”. Sementara, berikut ini bukti nyata bahwa sebagian mereka mengakui, -bahkan bangga-, menyebut gerakan yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahhab ini dengan nama “Wahhabiyyah”. Ini tertulis nyata dalam buku yang mereka terbitkan sendiri; ditulis oleh salah seorang pemuka mereka di wilayah Qatar, bernama: “Ahmad bin Hajar Al Buthami Al bin Ali”, judul bukunya: “as Syekh Muhammad ibn Abdil Wahhab ‘Aqidatuh as Salafiyyah Wa Da’watuh al Islamiyyah”. Bahkan buku ini diedit dan sebarluaskan oleh pemuka Wahabi lainnya, yaitu “Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz”. Dicetak tahun 1393 H, penerbit Syarikat Mathabi’ al Jazirah.



Perhatikan di halaman 105, ia menuliskan berikut ini:



فلما التقى الوهابيين في مكة

“Ketika bertemu dengan orang-orang Wahabi di Mekah…”



Juga menuliskan:



استطاع الوهابيون أن يقيموا الدولة الإسلامية على أساس من المبادئ الوهابية

“… orang-orang Wahabi mampu mendirikan Dawlah Islamiyyah di atas dasar ajaran-ajaran Wahabiyah”



Kemudian juga menuliskan:



ولكن الدعوة الوهابية

“Akan tetapi dakwah Wahabi…”



Juga menuliskan:



يدينون الإسلام على المذهب الوهابي

“Meraka (orang-orang Wahabi) beragama Islam di atas madzhab Wahabi”.



Penamaan diri mereka sebagai kaum Wahhabiyyah juga dikuatkan oleh pemuka Wahabi lainnya, bernama Muhammad bin Jamil Zainu, salah seorang guru terkemuka Wahabi di Mekah, dalam buku karyanya berjudul “Quthuf Min asy Syama’il al Muhammadiyyah”, cet. Dar ash Shahabah. Buku di ini disebarkan secara cuma-cuma (alias buku gratis) di wilayah Lebanon dibawah gerakan Wahabi yang bernama “Jam’iyyah an Nur Wa al Iman al Khairiyyah al Islamiyyah”. Muhammad bin Jamil Zainu dengan bangga menuliskan:



وهابي نسبة إلى الوهاب وهو اسم من أسماء الله

“Nama Wahabi adalah disandarkan kepada nama al Wahhab, dan dia itu (al Wahhab) adalah salah satu dari nama-nama Allah”.



Kita Katakan kepada Jamil Zainu: “Bohong ente mengatakan “Wahabi” disandarkan kepada nama Allah “al Wahhab”, yang benar adalah kata “Wahabi” disandarkan kepada perintis gerakan sesat, yaitu “Muhammad bin Abdul Wahhab”. Apa ente ngga tahu kalau dalam bahasa Arab “nisbah” itu seringkali dipakai dengan disandarkan kepada “Mudlaf Ilayh”-nya??? Seperti kata/nama “Abd Qais”; maka nisbah-nya menjadi “Qaisy”. Dan “nisbah” ini tidak harus hanya disandarkan kepada nama orang itu sendiri, tapi terkadang juga biasa disandarkan kepada nama ayahnya, atau nama kakeknya”.



Lainya, yang menguatkan bahwa mereka mengakui sebagai orang-orang Wahabi, dan bahwa ajaran yang mereka yakini sebagai ajara Wahabi; adalah mereka menamakan gerakan mereka dengan “Gerakan Faham Wahabiyyah” (al Harakah al Wahhabiyyah), sebagaimana itu mereka tuliskan dalam buku-buku mereka, di antara oleh salah seorang pemuka mereka bernama “Muhammad Khalil Harras”, yang dengan bangga ia menuliskan judul karyanya dengan “al Harakah al Wahhabiyyah” (“Gerakan Faham Wahabiyyah”). Buku ini dicetak penerbit Dar al Kutub al Arabi. Isi buku ini adalah pembelaan “mati-matian” terhadap ajaran Wahabi, penulisannya dengan bangga menamakan gerakan ajaran Wahabi dengan “ad Da’wah al Wahhabiyyah”, lihat di halaman 37.



Dengan demikian nama “Wahabiyyah” telah ditetapkan dan dibanggakan oleh para pemuka Wahabi sendiri, yang itu semua mereka ungkapkan dalam karya-karya mereka sendiri, karena itu “ngga ngaruh” bila kemudian “kroco-kroco” wahabi mengingkari itu semua.



Lihat, perhatikan, dan terus waspada… sebagian orang Wahabi enggan memakai nama Wahabi, tapi mereka lebih memilih nama-nama yang yang “wah” untuk mengelabui orang-orang awam; seperti “Salafi”, “Salafiyah”, “Anshar as Sunnah”, “Anshar at Tauhid”, “Jama’ah at Takfir Wa al Hijrah”, “Jam’iyyah an Nur Wa al Iman”, “al Jama’ah al Islamiyyah”, dan lain-lain. Bahkan sekolah-sekolah yang mereka dirikan seringkali memakai nama-nama para sahabat terkemuka, atau para Imam Madzhab; seperti “Utsman bin Affan”, “Umar bin Khattab”, “Imam Syafi’i”, dan lainnya. Waspadalah…!!!

catatan link ada di sini http://www.facebook.com/note.php?note_id=338726646144251
Baca Selanjutnya

Suara Perempuan Bukan Aurat (Penting, baca yang sabar....!!!!)



By  AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT
 Ketahuilah bahwa pendapat yang menjadi rujukan dari empat madzhab tentang suara perempuan adalah bukan aurat. Bagaimana mungkin dikatakan aurat sementara dalam hadits dinyatakan bahwa Nabi memberikan keringanan terhadap seorang Jariyah untuk menyanyi saat mangantar seorang pengantin perempuan menuju mempelai laki-laki. Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya[37] merهwayatkan dari Hisyam ibn ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, bahwasannya ia mengantar mempelai perempuan menuju pengantin pria dari kaum Anshar, kemudian nabi berssabda:

يا عائشة ما كان معكم لهو فإن الأنصار يعجبهم اللهو  

(Wahai ‘Aisyah tidakkah ada bersama kalian sebuah permainan (al-Lahw), sesungguhnya kaum Anshar itu sangat menyenangi permainan).

Dalam riwayat at-Thabarani[38] dari Syuraik ibn Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya; ‘Urwah ibn Zubair dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda:

فهل بعثتم معها جارية تضرب بالدف وتغني؟

(Tidakkah kalain mengutus jariah untuk memukul rebana dan bernyanyi?). ‘Aisyah berkata: “Berkata apa…?”. Rasulullah bersabda: “Berkata:

أتيناكم  أتيناكم           #   فحيونا نحييكم
ولو لا الذهب الأحمر   #  ما حلت بواديكم
ولو لا الحنطة السمراء #  ما سمنت عذاريكم

(Kami mendatangi kalian, kami mendatangi kalian, maka sambutlah kami, kamipun akan menyambut kalian. Kalaulah tidak karena Dzahab Ahmar (emas merah) maka tidak akan ramai tempat-tempat asing kalian. Dan kalaulah bukan karena Hinthah as-Samra (gandum cokelat) maka tidak akan gemuk perawan-perawan kalian).

Riwayat ath-Thabarani di atas adalah shahih, di dalamnya ada tambahan terhadap riwayat al-Bukhari; yaitu memukul rebana dan melantunkan lagu dengan kalimat-kalimat di atas. Pengertian jariah dalam hadits di atas adalah seorang perempuan. (lihat al-Qamus al-Muhith dan Lisan al-‘Arab pada huruf ج- ر- ي ).

Al-Bukhari juga meriwayatkan[39] dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: “Rasulullah masuk kepadaku sementara bersamaku ada dua orang perempuan sedang bernyanyi dengan nyanyian yang menggairahkan, kemudian nabi merebahkan badan di atas tempat tidur dan memalingkan wajahnya. Sesaat kemudian datang Abu Bakar, ia menegurku berkata: “Seruling syetan ada di rumah nabi?”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Biarkan keduanya…”, setelah Rasulullah tidak menghiraukan lagi aku mencandai kedua perempuan tersebut, kemudian keduanya keluar”.

Ibnu Hajar berkata[40]: “Pernyataannya (al-Bukhari); […dua orang perempuan --Jariyatani--], ia tambahkan dengan bab sesudahnya; […dari perempuan-perempuan al-Anshar]. Dalam lafazh hadits at-Thabarani[41] dari Ummi Salamah disebutkan bahwa salah satu kedua perempuan tersebut adalah milik Hassan ibn Tsabit, dalam kitab al-Arba’in karya as-Sulamiy disebutkan bahwa keduanya adalah milik ‘Abdullah ibn Salam. Dalam kitab al-‘Idaen karya Ibn Abi ad-Dunya dari jalan Fulaih dari Hisyam ibn ‘Urwah bahwa yang sedang bernyanyi tersebut adalah Hamamah dan salah seorang sahabatnya. Sanad terakhir ini shahih, hanya saja aku tidak menemukan nama perempuan satunya, namun demikian mungkin perempuan yang kedua bernama Zaenab, dan telah ia (al-Bukhari) sebutkan dalam bab nikah”.

Ibnu Hajar juga berkata[42]: “… akan tatapi tidak adanya pengingkaran Rasulullah terhadap hal itu menunjukan adanya kebolehan sesuatu yang tidak ia komentari”. Juga berkata: “Dari hadits ini diambil dalil dalam kebolehan mendengar suara perempuan menyanyi sekalipun ia bukan seorang budak, karena nabi tidak mengingkari Abu Bakar untuk mendengarkannya, bahkan ia mengingkari sikap pengingkarannya”.

Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Khalid ibn Dzakwan[43]: “Berkata Rubayyi’ binti Mu’awwidz ibn ‘Afra: Rasulullah datang pada masa pengantinku, kemudian ia duduk seperti duduknya engkau di hadapanku. Kemudian para perempuan-perempuan kami melai memukul rebana dan menyebut-nyebut nama orang-orang tuaku yang gugur dalam perang Badar. Ketika salah seorang perempuan tersebut berkata: […dan di antara kami ada seorang nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi hari esok], nabi bersabda: [Tinggalkan kalimat tersebut, ucapkan kalimat-kalimat yang sebelumnya engkau katakan].

Ibnu Hajar berkata[44]: “at-Tabarani dalam al-Mu’ajam al-Ausath dengan sanad hasan mengeluarkan dari hadits ‘Aisyah bahwa nabi lewat di hadapan perempuan-perempuan Anshar yang sedang dalam acara pernikahan, mereka sedang bernyanyi dengan mengatakan:

وأهدى لها كبشا تنحنح في المربد  #  وزوجك في النادي ويعلم ما في غد

[…dan suaminya menghadiahkan domba kepadanya (pengantin wanita) yang mengembik di tempat pengembalaan. Dan suamimu berada diperkumpulan dan mengetahui apa yang terjadi hari esok].

Kemudian Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang mengetahui kejadian hari esok kecuali Allah”.

Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits ini ada keterangan dalam mengkabarkan pernikahan dengan rebana dan dengan nyanyian yang mubah, juga tentang kedatangan pemimpin (Imam) dalam pesta tersebut sekalipun terdapat permainan-permainan, selama itu tidak melampaui batas kebolehan”. Hadits di atas juga diriwayatkan oleh al-Bazzar[45].

Ibnu Majah meriwayatkan[46] dari Anas ibn Malik bahwa di suatu daerah Madinah nabi bertemu dengan perempuan-perempuan yang sedang memukul rebana dan bernyanyi, mereka bereka:

نحن جوار من بني النجار  #  يا حبذا محمد من جار

[Kita adalah para perempuan dari Bani Najar, dan Muhammad adalah sebaik-baiknya orang yang menjadi tetangga].

Kemudian nabi bersabda: “Allah maha mengetahui bahwa aku benar-benar mencintai mereka”. Al-Hafizh al-Bushiri berkata: “Sanad hadits ini shahih, dan rijalnya orang-orang terpercaya”[47].

Seorang ahli bahasa; al-Hafizh Muhammad ibn Muhammad al-Husaini az-Zabidi yang dikenal dengan Murtadla dalam karyanya; Ithaf as-Sadat al-Muttaqin, berkata: “al-Qadli ar-Rauyani berkata: …Sekalipun perempuan tersebut meninggikan suaranya dalam talbiah, hal itu tidak haram, karena suaranya bukan aurat”[48].

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari berkata: “Dalam hadits ini [hadits tentang baiat perempuan dengan ucapan] terdapat keterangan bahwa mendengar perkataan perempuan asing adalah mubah, dan bahwa suaranya bukan aurat”[49].

An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim dalam keterangan hadits cara baiat perempuan berkata: “Pada hadits ini terdapat keterangan bahwa suara perempuan boleh didengar bila dibutuhkan, dan bahwa suaranya bukan aurat”[50].

Ibnu ‘Abidin al-Hanafi mengutip dari kitab al-Qinyah berkata: “Boleh berbicara Yng mubah dengan perempuan asing. Dalam al-Mujtaba disebutkan: Pada hadits ini terdapat dalil dalam kebolehan berbicara dengan perempuan asing dengan perkataan yang tidak dibutuhkan, hal ini tidak termasuk dalam pengertian “terjerumus dalam sesuatu yang tidak bermanfa’at”[51].

Dalam kitab Asna al-Mathalib Syarh Raudl at-Thalib, Syekh Zakariyya al-Anshari berkata: “…kemudian sesungguhnya suara perempuan bukan aurat menurut pendapat yang paling benar”[52].

Dengan demikian, dengan penjelasan ini, jelas bahwa suara perempuan bukan aurat, kecuali bagi orang yang bersenang-senang dalam mendengar suara kepadanya, dalam keadaan terakhir ini haram.

Jika dikatakan: “Bukankah firman Allah:

فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض (الأحزاب:32)

(Maka janganlah kalian menurunkan dalam berkata-kata kalian, hingga menjadi tamak (berburuk sangka) seseorang yang didalam hatinya memiliki penyakit).
Menunjukan keharaman dalam mendengar suara perempuan?

Jawab: Perihal ayat tersebut tidak menunjukan demikian. Al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata: “Allah memerintahkan terhadap mereka [isteri-isteri nabi] untuk berkata-kata dengan dengan perkataan yang fasih dan terang, tidak dengan kata-kata yang menyebabkan adanya ikatan dalam hati dan kelembutan, seperti halnya yang demikian itu umumnya terjadi pada kaum perempuan arab saat mereka berbincang-bincang dengan kaum laki-laki; yaitu dengan melembutkan suara seperti suara perempuan yang sedang kebingungan (al-Muribat) dan yang lemah gemulai (al-Mumisat), Allah melarang mereka dari hal demikian ini”[53].

Dalam tafsir al-Bahr al-Muhith, pada firman Allah [فلا تخضعن بالقول], Abu Hayyan berkata: “Ibnu ‘Abbas berkata: “Janganlah kalian lemah gemulai dalam berbicara”. Al-Hasan berkata: “Janganlah kalian berkata-kata dengan keburukan”. Al-Kalbi berkata: “Janganlah kalian berkata-kata dengan cara yang membangkitkan orang yang sedang dalam kebingungan”. Ibnu Zaid berkata: “Merendahkan kata-kata adalah ucapan-ucapan yang memasukan candaan dalam hati”. Dikatakan pula, maksudnya “Janganlah kalian melemahkan tutur kata terhadap kaum laki-laki”. Allah memerintahkan terhadap mereka [isteri-isteri nabi] untuk berkata-kata baik, tidak dengan kata-kata yang menyebabkan adanya ikatan dalam hati dan kelembutan, seperti halnya yang demikian itu umumnya terjadi pada kaum perempuan arab saat mereka berbincang-bincang dengan kaum laki-laki; yaitu dengan melembutkan suara seperti suara perempuan yang lemah gemulai (al-Mumisat), Allah melarang mereka dari hal demikian itu”[54].

Dari sini diketahui bahwa tujuan ayat bukan untuk mengharamkan atas mereka [isteri-isteri nabi] dalam berbincang-bincang hingga suara mereka didengar kaum laki-laki. Akan tetapi larangan di sini adalah untuk berkata-kata dengan lemah lembut seperti seperti perkataan perempuan yang sedang kebingungan (al-Muribat) dan yang lemah gemulai (al-Mumisat); artinya kaum perempuan pelaku zina.

Telah diriwayatkan dengan shahih bahwa ‘Aisyah mengajar kaum laki-laki dari belakang penutup (sitar). Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab at-Talkhish al-Habir berkata: “Maka telah tsabit dalam kitab Shahih bahwa mereka bertanya kepada ‘Aisyah tentang hukum-hukum dan hadits-hadits secara langsung (Musyafahah)[55].

Al-Hakim dalam al-Mustadrak meriwayatkan dari al-Ahnaf ibn Qais, berkata: “Saya mendengar khutbah Abu Bakar as-Siddiq, ‘Umar ibn al-Khathab, ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Ali ibn Abi Thalib dan para khalifah-khalifah seterusnya hingga hari ini, dan aku tidak pernah mendengar perkataan dari mulut seorang makhluk yang lebih wibawa dan baik dari apa yang keluar dari mulut ‘Aisyah”[56].

Dalam at-Tafsir al-Kabir, dalam firman Allah [وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن], al-Fakhr ar-Razi menulis: “Tentang suara perempuan ada dua pendapat, pendapat yang paling benar ialah bahwa hal itu bukan aurat, karena para isteri nabi meriwayatkan hadits-hadits bagi kaum laki-laki”[57].

Di antara mereka adalah ‘Aisyah; beliau meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah kepada kaum laki-laki dan memberi fatwa kepada mereka, dan ia tidak merubah suaranya. Demikian pula dari beberapa kaum perempuan keluarga Shalahuddin al-Ayyubi meriwayatkan hadits bagi kaum laki-laki. Dan siapa yang merujuk kepada kitab-kitab tentang tingkatan para ahli hadits (Thabaqat al-Muhadditsin), para huffazh al-hadits, para ahli fiqh, ia akan menemukan banyak biografi ulama yang notabene mereka sebagai sandaran ilmu syari’at mengambil (membaca) atau belajar kepada kaum perempuan.

Yang lebih utama adalah kaum perempuan belajar kepada kaum perempuan di tempat tertentu, yang para [pengajar] perempuan tersebut ahli dalam keilmuan dari segi kafa’ah dan tsiqah.

____________________________________
[37]. Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nikah: Bab tentang perempuan-perempuan yang mengantar mempelai wanita menuju suaminnya dan doa mereka baginya.
[38]. Dikutip oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id (4/289), at-Tabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, lihat pula Fath al-Bari (9/226)
[39]. Shahih al-Bukhari: Kitab al-‘Idaen: Bab al-Hirab wa ad-Daraq Yaum al-‘Ied.
[40]. Fath al-Bari (2/440)
[41]. al-Mu’jam al-Kabir (23/264-265)
[42]. Fath al-Bari (2/443)
[43]. Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nikah: Bab memukul rebana saat nikah dan walimah
[44]. Fath al-Bari (9/203)
[45]. Lihat Kasyf al-Astar (3/5-6). Al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id (8/129) berkata: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan para rijal shahih”.
[46]. Sunan Ibn Majah: Kitab an-Nikah: Bab al-Ghina wa ad-Duff.
[47]. Mishbah az-Zujajah Fi Zawa’id Ibn Majah (1/334)
[48]. Ithaf as-Sadat al-Muttaqin Bi Syarh Ihya Ulum ad-Din (4/338)
[49]. Fath al-Bari (13/204)
[50]. Syarh Shahih Muslim (10/13)
[51]. Radd al-Muhtar (5/236)
[52]. Asna al-Mathalib (3/110)
[53]. al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (14/177)
[54]. al-Bahr al-Muhith (7/229)
[55]. at-Talkhis al-Habir Fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’i al-Kabir (3/140)
[56]. Mustadrak  al-Hakim: Kitab Ma’rifat as-Shabah (4/11)
[57]. at-Tafsir al-Kabir (23/207)

Baca Selanjutnya