By Wahabi N Ews
Beberapa tahun belakangan banyak kitab, buku, artikel, atau postingan di internet yang memuat kalimat : “ DISAHIHKAN OLEH SYAIKH AL-BANI ”.
Selama ini orang setidaknya hanya mengenal seperti : diriwayatkan oleh Imam Bukhari, sahih Bukhari, sahih Muslim dan yang semisalnya dari Imam2 Muhaddits yang mu’tabar (kredibel).Dengan munculnya seorang yang dianggap sebagai ahli hadits abad ini, kini muncul istilah baru yang jadi icon dan ‘jaminan mutu’, apabila sebuah hadits sudah dapat stempel : DISAHIHKAN OLEH SYAIKH AL-BANI
APAKAH TIDAK PERNAH TERSIRAT DIPIKIRAN SAUDARA ADA APA DI BALIK SEMUA INI, APA YG TERJADI, SIAPA DIA?
Sebenarnya Siapakah Syeikh Nashiruddin Al-Albani itu?
Mari kita lihat :
Syeikh Nashiruddin Al-Albani adalah seorang tukang jam yang dilahirkan di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M dan meninggal dunia pada tanggal 21 Jumadal Akhirah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania. Pada masa hidupnya, sehari-hari dia berprofesi sebagai tukang reparasi jam. Dia memiliki hobi membaca kitab-kitab khususnya kitab-kitab hadits tetapi tidak pernah berguru kepada guru hadits yang ahli dan tidak pernah mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits.
Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari”ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul). Keluarga beliau kemudian berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana.
Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah. Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah.Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia berani mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah tugas para hafidz (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus ribu hadits).
Albani menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau.
Hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.
Namun sayangnya, dia menyangka bahwa dirinya telah menjadi profesional dalam urusan agama. Dia memberanikan diri untuk berfatwa dan mentashhieh hadits atau mendha’ifkannya sesuai dengan keinginan . Juga dia berani menyerang ulama yang mu’tabar (yang berkompeten di bidangnya) padahal dia mandakwa bahwa “hafalan”hadits telah terputus atau punah.
Di kalangan Wahabi / salafi, pria yang satu ini dianggap muhaddits paling ulung di zamannya. Bahkan sebagian mereka tak canggung menyetarakannya dengan para imam hadist terdahulu.
Mereka gencar mempromosikannya lewat berbagai media. Dan usaha mereka bisa dikata berhasil. Kalangan muslim banyak yang tertipu dengan hadis-hadis edaran mereka yang di akhirnya terdapat kutipan, “disahihkan oleh Albani, ”. Para salafi itu seolah memaksakan kesan bahwa dengan kalimat itu Al-Albani sudah setaraf dengan Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah dan lainnya.
Sebetulnya, kapasitas pria yang lahir di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M ini sangat meragukan. Bahkan ketika ia diminta oleh seseorang untuk menyebutkan 10 hadis beserta sanadnya, ia dengan enteng menjawab, “Aku bukan ahli hadis sanad, tapi ahli hadis kitab.”
Berarti dia diragukan kelayakannya disebut sebagai Muhaddits, karena yang disebut Muhaddits adalah orang yang mengumpulkan hadits dan menerima hadits dari para rawi hadits. Albani tidak hidup di masa itu, ia hanya menukil dari sisa buku-buku hadits yang ada di masa kini. Kita bisa lihat Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal sejuta hadits berikut sanad dan hukum matannya, hingga digelari huffadhuddun-ya (salah seorang yg paling banyak hafalan haditsnya di dunia). Beliau hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits dari hadits sebanyak itu. Maka 980.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman.
Imam Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman. Demikian muhaddits-muhadits besar lainnya, seperti An-Nasa’i, At-Tirmidziy, Abu Dawud, Muslim, Ibn Majah, Imam As-Syafi’i, Imam Malik dan ratusan muhaddits lainnya.
Muhaddits adalah orang yang berjumpa langsung dengan perawi hadits, bukan berjumpa dengan buku buku. Albani hanya berjumpa dengan sisa-sisa buku hadits yang ada masa kini.
Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yang telah hafal 300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya. Bagaimana ia mau hafal 300.000 hadits, sedangkan pada saat ini, jika semua buku hadits yang tercetak dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits. An-Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Al-Ghazali, dan banyak Imam Imam Lainnya.
Albani bukan pula Al-Hafidh, ia tak hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya. Karena ia banyak menusuk fatwa para muhadditsin, menunjukkkan ketidakfahamannya akan hadits-hadits.
Abani bukan pula Al-Musnid, yaitu pakar hadits yang menyimpan banyak sanad hadits hingga saat ini, yaitu dari dirinya, dari guru-guru, dan dari para muhadditsîn sebelumnya hingga Rasul SAW. Orang yang banyak menyimpan sanad seperti ini diberi gelar Al-Musnid, sedangkan Albani tak punya satupun sanad hadits yang muttashil.
Para Muhadditsin, "Tiada ilmu tanpa sanad". Maksudnya semua ilmu hadits, fiqh, tauhid, al-Qur’an, harus mempunyai jalur sanad hingga kepada Rasulullah SAW. Jika ada seorang mengaku pakar hadits dan berfatwa, namun ia tidak punya sanad guru, maka fatwanya mardûd (tertolak), ucapannya dhoif, dan tak bisa dijadikan dalil untuk diikuti, karena sanadnya maqthû‘.
Para Ulama telah menetapkan kriteria yang ketat agar hanya benar-benar ‘orang yang memang memenuhi kriteria sajalah’ yang layak menyadang gelar ini seperti yang diungkapkan oleh Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadits (muhaddits) itu sebenarnya:
“Menurut sebagian Imam hadits, orang yang disebut dengan Ahli Hadits (Muhaddits) adalah orang yang pernah menulis hadits, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadits), dan meng- komentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi -pent) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadits. Tetapi jika ia sudah mengena- kan jubah pada kepalanya, dan berkumpul dengan para penguasa pada masa- nya, atau menghalalkan (dirinya memakai-pent ) perhiasan lu’lu (permata-pent) dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni -pent). Dan hanya mempelajari hadits Al-Ifki wa Al-Butan. Maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas menyandang gelar seorang Muhaddits bahkan ia bukan manusia. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam” ( Lihat Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1hal. 40-41).
Oleh karena itu para Ulama Salaf Panutan Umat sudah memperingatkan kita akan kelompok orang yang seperti ini sebagai berikut:
1) Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadits yang bermadzhab Hanafi menukil pendapat Ibn Asy-Syihhah ditambah syarat dari Ibn Abidin Dalam Hasyiyah-nya, yang dirangkum dalam bukunya ‘Daf’ Al-Auham An-Masalah AlQira’af Khalf Al-Imam’, hal. 15: ”Kita melihat pada masa kita, banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu. Ia merasa dirinya diatas awan, padahal ia berada dilembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah satu kitab dari enam kitab hadits (kutub As-Sittah), dan ia menemukan satu hadits yang bertentangan dengan madzhab Abu Hanifah, lalu berkata buang- lah madzhab Abu Hanifah ke dinding dan ambil hadits Rasulallah saw.. Padahal hadits ini telah mansukh atau bertentangan dengan hadis yang sanad nya lebih kuat dan sebab lainnya sehingga hilanglah kewajiban mengamalkan- nya. Dan dia tidak mengetahui. Bila pengamalan hadis seperti ini diserahkan secara mutlak kepadanya maka ia akan tersesat dalam banyak masalah dan tentunya akan menyesatkan banyak orang ”.
2) Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan dalam Jami’ Bayan Al-Ilmu, juz 2 hal. 130, dengan sanadnya sampai kepada Al-Qodhi Al-Mujtahid Ibn Laila bahwa ia berkata: ”Seorang tidak dianggap memahami hadits kalau ia mengetahui mana hadits yang harus diambil dan mana yang harus ditinggal kan”.
3) Al-Qodhi Iyadh dalam Tartib Al-Madarik, juz 2hal. 427; Ibn Wahab berkata: ”Kalau saja Allah tidak menyelamatkanku melalui Malik Dan Laits, maka tersesatlah aku. Ketika ditanya, mengapa begitu, ia menjawab, ‘Aku banyak menemukan hadits dan itu membingungkanku. Lalu aku menyampaikannya pada Malik dan Laits, maka mereka berkata : ‘Ambillah dan tinggalkan itu’ ”.
4) Imam Malik berpesan kepada kedua keponakannya (Abu Bakar dan Ismail, putra Abi Uwais); ”Bukankah kalian menyukai hal ini (mengumpulkan dan mendengarkan hadits) serta mempelajarinya?, Mereka menjawab: ‘Ya’, Beliau berkata: Jika kalian ingin mengambil manfaat dari hadits ini dan Allah menjadi- kannya bermanfaat bagi kalian, maka kurangilah kebiasaan kalian dan pelajari- lah lebih dalam”. Seperti ini pula Al-Khatib meriwayatkan dengan sanadnya dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqih juz II hal. 28.
5) Al-Khotib meriwayatkan dalam kitabnya Faqih wa Al-Mutafaqih, juz II hal.15-19, suatu pembicaraan yang panjang dari Imam Al-Muzniy, pewaris ilmu Imam Syafi’i. Pada bagian akhir Al-Muzniy berkata: ”Perhatikan hadits yang kalian kumpulkan.Tuntutlah Ilmu dari para fuqoha agar kalian menjadi ahli fiqh”.
6) Dalam kitab Tartib Al-Madarik juz Ihal. 66, dengan penjelasan yang panjang dari para Ulama Salaf tentang sikap mereka terhadap As-Sunnah, antara lain:
a. Umar bin Khattab berkata diatas mimbar: ”Akan kuadukan kepada Allah orang yang meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan yang diamalkan.
b. Imam Malik berkata: ”Para Ahli Ilmu dari kalangan Tabi’in telah menyampaikan hadits-hadits, lalu disampaikan kepada mereka hadits dari orang lain, maka mereka menjawab: ‘Bukannya kami tidak tahu tentang hal ini, tetapi pengamalannya yang benar adalah tidak seperti ini’ ” .
c. Ibn Hazm berkata: Abu Darda’ pernah ditanya: ”Sesungguhnya telah sampai kepadaku hadits begini dan begitu (berbeda dengan pendapatnya-pent). Maka ia menjawab: ‘Saya pernah mendengarnya, tetapi aku menyaksikan pengamal annya tidak seperti itu’ ” .
d. Ibn Abi zanad, “Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para Ulama dan Fuqoha untuk menanyai mereka tentang sunnah dan hukum-hukum yang di amalkan agar beliau dapat menetapkan. Sedang hadits yang tidak diamalkan akan beliau tinggalkan, walaupun diriwayatkan dari para perawi yang ter- percaya”. Demikian perkataan Qodhi Iyadh.
e. Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali dalam Kitabnya Fadhl ‘Ilm As-Salaf ‘ala Kholaf’ hal.9, berkata: “Para Imam dan Fuqoha Ahli Hadits sesungguhnya mengikuti hadits shohih jika hadits itu diamalkan dikalangan para Sahabat atau generasi sesudahnya, atau sebagian dari mereka. Adapun yang disepakati untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan, karena tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali atas dasar pengetahuan bahwa ia memang tidak diamalkan”.
Kesimpulan:
Jika ada seorang manusia pada masa sekarang seperti Ulama Wahabi - Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang menukil sisa-sisa hadits yang tidak mencapai 10% dari hadits yang ada dimasa lalu, kemudian berfatwa hadits ini dha‘if, hadits ini mauwdhû‘ , menghina ulama lain, dan lain sebagainya, MAKA BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ?
” Akan datang nanti suatu masa yang penuh dengan penipuan hingga pada masa itu para pendusta dibenarkan, orang-orang yang jujur didustakan; para pengkhianat dipercaya dan orang-orang yang amanah dianggap khianat, serta bercelotehnya para ‘Ruwaibidhoh’. Ada yang bertanya: ‘Apa itu ‘Ruwaibidhoh’? Beliau saw. menjawab: ”Orang bodoh pandir yang berkomentar tentang perkara orang banyak ”
(HR. Al-Hakim jilid 4 hal. 512 No. 8439 — ia menyatakan bahwa hadits ini shohih; HR. Ibn Majah jilid 2 hal. 1339 no. 4036; HR. Ahmad jilid 2 hal. 219, 338 No. 7899,8440; HR. Abi Ya’la jilid 6 hal. 378 no. 3715; HR. Ath-Thabrani jilid 18 hal. 67 No. 123; HR. Al-Haitsami jilid 7 hal. 284 dalam Majma’ Zawa’id).
Mudah2an bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selama ini orang setidaknya hanya mengenal seperti : diriwayatkan oleh Imam Bukhari, sahih Bukhari, sahih Muslim dan yang semisalnya dari Imam2 Muhaddits yang mu’tabar (kredibel).Dengan munculnya seorang yang dianggap sebagai ahli hadits abad ini, kini muncul istilah baru yang jadi icon dan ‘jaminan mutu’, apabila sebuah hadits sudah dapat stempel : DISAHIHKAN OLEH SYAIKH AL-BANI
APAKAH TIDAK PERNAH TERSIRAT DIPIKIRAN SAUDARA ADA APA DI BALIK SEMUA INI, APA YG TERJADI, SIAPA DIA?
Sebenarnya Siapakah Syeikh Nashiruddin Al-Albani itu?
Mari kita lihat :
Syeikh Nashiruddin Al-Albani adalah seorang tukang jam yang dilahirkan di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M dan meninggal dunia pada tanggal 21 Jumadal Akhirah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania. Pada masa hidupnya, sehari-hari dia berprofesi sebagai tukang reparasi jam. Dia memiliki hobi membaca kitab-kitab khususnya kitab-kitab hadits tetapi tidak pernah berguru kepada guru hadits yang ahli dan tidak pernah mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits.
Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari”ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul). Keluarga beliau kemudian berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana.
Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah. Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah.Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia berani mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah tugas para hafidz (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus ribu hadits).
Albani menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau.
Hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.
Namun sayangnya, dia menyangka bahwa dirinya telah menjadi profesional dalam urusan agama. Dia memberanikan diri untuk berfatwa dan mentashhieh hadits atau mendha’ifkannya sesuai dengan keinginan . Juga dia berani menyerang ulama yang mu’tabar (yang berkompeten di bidangnya) padahal dia mandakwa bahwa “hafalan”hadits telah terputus atau punah.
Di kalangan Wahabi / salafi, pria yang satu ini dianggap muhaddits paling ulung di zamannya. Bahkan sebagian mereka tak canggung menyetarakannya dengan para imam hadist terdahulu.
Mereka gencar mempromosikannya lewat berbagai media. Dan usaha mereka bisa dikata berhasil. Kalangan muslim banyak yang tertipu dengan hadis-hadis edaran mereka yang di akhirnya terdapat kutipan, “disahihkan oleh Albani, ”. Para salafi itu seolah memaksakan kesan bahwa dengan kalimat itu Al-Albani sudah setaraf dengan Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah dan lainnya.
Sebetulnya, kapasitas pria yang lahir di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M ini sangat meragukan. Bahkan ketika ia diminta oleh seseorang untuk menyebutkan 10 hadis beserta sanadnya, ia dengan enteng menjawab, “Aku bukan ahli hadis sanad, tapi ahli hadis kitab.”
Berarti dia diragukan kelayakannya disebut sebagai Muhaddits, karena yang disebut Muhaddits adalah orang yang mengumpulkan hadits dan menerima hadits dari para rawi hadits. Albani tidak hidup di masa itu, ia hanya menukil dari sisa buku-buku hadits yang ada di masa kini. Kita bisa lihat Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal sejuta hadits berikut sanad dan hukum matannya, hingga digelari huffadhuddun-ya (salah seorang yg paling banyak hafalan haditsnya di dunia). Beliau hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits dari hadits sebanyak itu. Maka 980.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman.
Imam Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman. Demikian muhaddits-muhadits besar lainnya, seperti An-Nasa’i, At-Tirmidziy, Abu Dawud, Muslim, Ibn Majah, Imam As-Syafi’i, Imam Malik dan ratusan muhaddits lainnya.
Muhaddits adalah orang yang berjumpa langsung dengan perawi hadits, bukan berjumpa dengan buku buku. Albani hanya berjumpa dengan sisa-sisa buku hadits yang ada masa kini.
Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yang telah hafal 300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya. Bagaimana ia mau hafal 300.000 hadits, sedangkan pada saat ini, jika semua buku hadits yang tercetak dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits. An-Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Al-Ghazali, dan banyak Imam Imam Lainnya.
Albani bukan pula Al-Hafidh, ia tak hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya. Karena ia banyak menusuk fatwa para muhadditsin, menunjukkkan ketidakfahamannya akan hadits-hadits.
Abani bukan pula Al-Musnid, yaitu pakar hadits yang menyimpan banyak sanad hadits hingga saat ini, yaitu dari dirinya, dari guru-guru, dan dari para muhadditsîn sebelumnya hingga Rasul SAW. Orang yang banyak menyimpan sanad seperti ini diberi gelar Al-Musnid, sedangkan Albani tak punya satupun sanad hadits yang muttashil.
Para Muhadditsin, "Tiada ilmu tanpa sanad". Maksudnya semua ilmu hadits, fiqh, tauhid, al-Qur’an, harus mempunyai jalur sanad hingga kepada Rasulullah SAW. Jika ada seorang mengaku pakar hadits dan berfatwa, namun ia tidak punya sanad guru, maka fatwanya mardûd (tertolak), ucapannya dhoif, dan tak bisa dijadikan dalil untuk diikuti, karena sanadnya maqthû‘.
Para Ulama telah menetapkan kriteria yang ketat agar hanya benar-benar ‘orang yang memang memenuhi kriteria sajalah’ yang layak menyadang gelar ini seperti yang diungkapkan oleh Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadits (muhaddits) itu sebenarnya:
“Menurut sebagian Imam hadits, orang yang disebut dengan Ahli Hadits (Muhaddits) adalah orang yang pernah menulis hadits, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadits), dan meng- komentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi -pent) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadits. Tetapi jika ia sudah mengena- kan jubah pada kepalanya, dan berkumpul dengan para penguasa pada masa- nya, atau menghalalkan (dirinya memakai-pent ) perhiasan lu’lu (permata-pent) dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni -pent). Dan hanya mempelajari hadits Al-Ifki wa Al-Butan. Maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas menyandang gelar seorang Muhaddits bahkan ia bukan manusia. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam” ( Lihat Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1hal. 40-41).
Oleh karena itu para Ulama Salaf Panutan Umat sudah memperingatkan kita akan kelompok orang yang seperti ini sebagai berikut:
1) Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadits yang bermadzhab Hanafi menukil pendapat Ibn Asy-Syihhah ditambah syarat dari Ibn Abidin Dalam Hasyiyah-nya, yang dirangkum dalam bukunya ‘Daf’ Al-Auham An-Masalah AlQira’af Khalf Al-Imam’, hal. 15: ”Kita melihat pada masa kita, banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu. Ia merasa dirinya diatas awan, padahal ia berada dilembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah satu kitab dari enam kitab hadits (kutub As-Sittah), dan ia menemukan satu hadits yang bertentangan dengan madzhab Abu Hanifah, lalu berkata buang- lah madzhab Abu Hanifah ke dinding dan ambil hadits Rasulallah saw.. Padahal hadits ini telah mansukh atau bertentangan dengan hadis yang sanad nya lebih kuat dan sebab lainnya sehingga hilanglah kewajiban mengamalkan- nya. Dan dia tidak mengetahui. Bila pengamalan hadis seperti ini diserahkan secara mutlak kepadanya maka ia akan tersesat dalam banyak masalah dan tentunya akan menyesatkan banyak orang ”.
2) Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan dalam Jami’ Bayan Al-Ilmu, juz 2 hal. 130, dengan sanadnya sampai kepada Al-Qodhi Al-Mujtahid Ibn Laila bahwa ia berkata: ”Seorang tidak dianggap memahami hadits kalau ia mengetahui mana hadits yang harus diambil dan mana yang harus ditinggal kan”.
3) Al-Qodhi Iyadh dalam Tartib Al-Madarik, juz 2hal. 427; Ibn Wahab berkata: ”Kalau saja Allah tidak menyelamatkanku melalui Malik Dan Laits, maka tersesatlah aku. Ketika ditanya, mengapa begitu, ia menjawab, ‘Aku banyak menemukan hadits dan itu membingungkanku. Lalu aku menyampaikannya pada Malik dan Laits, maka mereka berkata : ‘Ambillah dan tinggalkan itu’ ”.
4) Imam Malik berpesan kepada kedua keponakannya (Abu Bakar dan Ismail, putra Abi Uwais); ”Bukankah kalian menyukai hal ini (mengumpulkan dan mendengarkan hadits) serta mempelajarinya?, Mereka menjawab: ‘Ya’, Beliau berkata: Jika kalian ingin mengambil manfaat dari hadits ini dan Allah menjadi- kannya bermanfaat bagi kalian, maka kurangilah kebiasaan kalian dan pelajari- lah lebih dalam”. Seperti ini pula Al-Khatib meriwayatkan dengan sanadnya dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqih juz II hal. 28.
5) Al-Khotib meriwayatkan dalam kitabnya Faqih wa Al-Mutafaqih, juz II hal.15-19, suatu pembicaraan yang panjang dari Imam Al-Muzniy, pewaris ilmu Imam Syafi’i. Pada bagian akhir Al-Muzniy berkata: ”Perhatikan hadits yang kalian kumpulkan.Tuntutlah Ilmu dari para fuqoha agar kalian menjadi ahli fiqh”.
6) Dalam kitab Tartib Al-Madarik juz Ihal. 66, dengan penjelasan yang panjang dari para Ulama Salaf tentang sikap mereka terhadap As-Sunnah, antara lain:
a. Umar bin Khattab berkata diatas mimbar: ”Akan kuadukan kepada Allah orang yang meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan yang diamalkan.
b. Imam Malik berkata: ”Para Ahli Ilmu dari kalangan Tabi’in telah menyampaikan hadits-hadits, lalu disampaikan kepada mereka hadits dari orang lain, maka mereka menjawab: ‘Bukannya kami tidak tahu tentang hal ini, tetapi pengamalannya yang benar adalah tidak seperti ini’ ” .
c. Ibn Hazm berkata: Abu Darda’ pernah ditanya: ”Sesungguhnya telah sampai kepadaku hadits begini dan begitu (berbeda dengan pendapatnya-pent). Maka ia menjawab: ‘Saya pernah mendengarnya, tetapi aku menyaksikan pengamal annya tidak seperti itu’ ” .
d. Ibn Abi zanad, “Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para Ulama dan Fuqoha untuk menanyai mereka tentang sunnah dan hukum-hukum yang di amalkan agar beliau dapat menetapkan. Sedang hadits yang tidak diamalkan akan beliau tinggalkan, walaupun diriwayatkan dari para perawi yang ter- percaya”. Demikian perkataan Qodhi Iyadh.
e. Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali dalam Kitabnya Fadhl ‘Ilm As-Salaf ‘ala Kholaf’ hal.9, berkata: “Para Imam dan Fuqoha Ahli Hadits sesungguhnya mengikuti hadits shohih jika hadits itu diamalkan dikalangan para Sahabat atau generasi sesudahnya, atau sebagian dari mereka. Adapun yang disepakati untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan, karena tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali atas dasar pengetahuan bahwa ia memang tidak diamalkan”.
Kesimpulan:
Jika ada seorang manusia pada masa sekarang seperti Ulama Wahabi - Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang menukil sisa-sisa hadits yang tidak mencapai 10% dari hadits yang ada dimasa lalu, kemudian berfatwa hadits ini dha‘if, hadits ini mauwdhû‘ , menghina ulama lain, dan lain sebagainya, MAKA BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ?
” Akan datang nanti suatu masa yang penuh dengan penipuan hingga pada masa itu para pendusta dibenarkan, orang-orang yang jujur didustakan; para pengkhianat dipercaya dan orang-orang yang amanah dianggap khianat, serta bercelotehnya para ‘Ruwaibidhoh’. Ada yang bertanya: ‘Apa itu ‘Ruwaibidhoh’? Beliau saw. menjawab: ”Orang bodoh pandir yang berkomentar tentang perkara orang banyak ”
(HR. Al-Hakim jilid 4 hal. 512 No. 8439 — ia menyatakan bahwa hadits ini shohih; HR. Ibn Majah jilid 2 hal. 1339 no. 4036; HR. Ahmad jilid 2 hal. 219, 338 No. 7899,8440; HR. Abi Ya’la jilid 6 hal. 378 no. 3715; HR. Ath-Thabrani jilid 18 hal. 67 No. 123; HR. Al-Haitsami jilid 7 hal. 284 dalam Majma’ Zawa’id).
Mudah2an bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Nauzubillah, semoga masa banyak pendusta tersebut masih lama, semoga masih ada Ulama Mu'tabar Ulama Akhirah yang membimbing kita. Kita harus berjuang.
BalasHapus