كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ PECINTA RASULULLAH.COM menyajikan artikel-artikel faktual sebagai sarana berbagi ilmu dan informasi demi kelestarian aswaja di belahan bumi manapun Terimakasih atas kunjungannya semoga semua artikel di blog ini dapat bermanfaat untuk mempererat ukhwuah islamiyah antar aswaja dan jangan lupa kembali lagi yah

Senin, 03 Desember 2012

Ini adalah Makamnya Sayyidah Maimunah binti Harits radhiyallahu anha




Tidak semua orang pernah kesini,
Tidak semua penduduk Saudi kesini,
Tidak semua para mukimin Indonesia kesini,
Tidak semua Para jama’ah haji kesini,
Tidak pula semua jama’ah umrah kesini, walau itu hanya melihat atau mampir.


Alhamdulillah saya menyempatkan diri menziarahinya sepulang dari KJRI Jeddah usai mengurusi perpanjangan paspor.

Ini adalah Makamnya Sayyidah Maimunah binti Harits radhiyallahu anha, istri dari pada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.


Dalam sejarah singkat yang saya ketahui, beliau adalah wanita yang terakhir yang di nikahi oleh Baginda Nabi saw setelah umrah qodlo’ pada bulan dzulqo’dah tahun 7 H.


Sayyidah Maimunah ini diberi julukan oleh Nabi dengan sebutan “BARROH”.


Beliau ini adiknya istrinya paman Nabi Sayyidina Abbas ra, yaitu saudaranya Ummu Fadhl dan beliau ini juga bibinya Khalid bin walid.


Hari pertama sakitnya Nabi yang membuat beliau meninggal dunia adalah terjadi di rumah beliau ini namun kemudian dipindahkan ke rumah Sayyidah Aisyah ra sesuai permintaan Nabi sendiri.


Sayyidah Maimunah ra ini meninggal dunia pada tahun 51 H dalam usia 80 tahun di tempat dimana dulu beliau di nikahkan dengan Nabi. Makam beliau ini juga ditempat tersebut, yaitu di desa saraf atau sekarang dikenal dengan Jumum, yakni beberapa kilo meter dari batas luar tanah suci.


Makam beliau ini sekarang berada di pinggir jalan jalur Makkah Madinah.


Selebihnya bisa anda tanyakan ke guru anda atau ke google wa akhwatiha.


Demekian baba naheel melaporkan.


Sumber: http://goo.gl/EdntU

Baca Selanjutnya

Syarat untuk Menjadi Imam Mujtahid

http://img197.imageshack.us/img197/5058/novelsejarah4mazhab.jpg


Syarat muthlak bagi orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, ialah pandai, sekali lagi pandai. Tidak mungkin si Awam akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau si Awam mencoba hendak menjadi Mujtahid maka akan rusaklah agama, akan hancrulah agama dan akan porak porandalah hukum-hukum agama Islam yang suci. Ini masuk akal. Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam Negara Hukum ? Sudah pasti tidak. Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi Hakim, maka hukum itu akan diinjak-injaknya dan ia akan menjalankan "Hukum Rimba", yang berdasarkan siapa kuat siapa di atas.

Di dalam hukum Islam juga begitu. Setiap orang yang hendak meniadi Imam Mujtahid, yaitu orang-orang yang bertugas mengeluarkan hukum dari dalam Al-Quran dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat.

Syarat-syarat itu adalah :

1. Mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya karena Al-Quran dan Hadits, diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab yang fasih, yang mutunya tinggi dan pengertiannya luas dan dalam.
Allah berfirman :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Artinya : "Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” (QS Yusuf : 2)
Allah berfirman pula:

وَكَذَ‌ٰلِكَ أَنزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا وَاقٍ

Artinya : "Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab . Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS Ar Ra'd : 37)

Orang yang tidak belaiar bahasa Arab tidak mungkin akan dapat menggali hukum-hukum dalam Al-Quran. Ini logis. Karena itu tidak mungkin ia menjadi Imam Mujtahid. Jadi ia harus mengikuti salah satu Imam, tidak boleh tidak. Al-Quran itu dalam bahasa yang fasih dan bermutu tinggi, tidak sama dengan bahasa pasaran atau bahasa-bahasa daerah yang sekarang banyak terpakai di daerah-daetah negeri Arab, atau katakanlah tidak sama dengan "bahasa Arab Tanah Abang". Orang Arab sendiri yang tidak mendalami bahasa Arab dan tidak belajar undang-undang bahasa Arab, tidak akan bisa menjadi Imam Mujtahid karena ia tidak akan pandai menggali isi Al-Quran sedalam-dalamnya.

Jadi hatus dipelajari semahir-mahirnya, bukan saja arti bahasa, tetapi ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa, seumpanya Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi', Balaghah, ‘Arudh dan Qawafi karena dengan ilmu-ilmu itu baru bisa diketahui yang mana dalam ayat ayat itu yang sifatnya umum, yang sifatnya khusus, yang suruhan, yang larangan, yang pertanyaaan, yang nash (nyata), yang majaz (tersirat), yang muthlaq, yang muqayad, yang berita, yang hikayat dan lain-lain sebagainya.
Di dalam Al-Quran ada firman yang pada lahirnya Nampak “menyuruh", tetapi pada hakikatnya “melarang” seumpama firman Allah :

إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا ۗ أَفَمَن يُلْقَىٰ فِي النَّارِ خَيْرٌ أَم مَّن يَأْتِي آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Fushilat : 40)

Kalau kita tidak mengetahui ilmu ma'ni maka akan tersesatlah kita dalam memberikan arti kepada ayat ini karena bisa difahamkan bahwa Allah mengizinkan dan bahkan menyuruh supaya orang mengerjakan apa yang disukainya saja, biar pekerjaan jahat sekali pun. Padahal Allah dalam ayat ini bukan menyuruh, tetapi melarang dan mengecam supaya orang jangan berbuat sesuka hatinya saja dengan tidak memikirkan halal dan haramnnya.
Jadi ayat ini berarti larangan, bukan suruhan. Seperti halnya seorang bapak yang bosan atas kelakuan anaknya yang nakal, lantas berkata, "Sesuka hatimulah, buatlah apa yangkamu sukai!”

Contoh yang lain ada lagi,yaitu di dalam Al-Quran ada ayat yang tidak menurut bahwasanya, yaitu Allah berfirman :

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍكُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ  وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Artinya : "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.". (Ar Rahman : 26-27)

Adapun arti wajah dalam bahasa Arab adalah “muka”. Jadi menurut ayat ini, sekalian yang ada akan lenyap atau binasa sedangkan yang kekal hanya "muka" Tuhan. Orang-orang yang mengetahui sastra Arab, ahli Bayan dan Ma'ni tentu mengetahui bahwa yang dimaksud dengan wajah dalam ayat ini adalah"dzat" Tuhan bukan "muka" Tuhan. Maka arti yang sebenarnya dari ayat ini adalah : "Sekalian yang ada akan lenyap/binasa, kecuali "dzat" Tuhan. Kesimpulan dapat dikatakan bahwa orang yang ingin menjadi Imam Mujtahid harus mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya, kalau tidak ia akan berbuat banyak kesalahan.

Ada orang bertanya, bahwa di Indonesia sekarang sudah banyak kitab-kitab terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang disusun dan dikarang oleh penterjemah bangsa Indonesia. Sudah bolehkah kita menggali hukum fiqih dari dalam Al-Quran, sedang kita hanya baru mengetahui arti ayat-ayat Al-Quran dari kitab-kitab teriemahan itu ? Memang sudah ada beberapa kitab terjemahan Al-Quran, dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan tegas pertanyaan di atas dapat dijawab dengan "Belum bisa", karena:

a. Ada kemungkinan terjemahan itu tersalah atau salah, sedang kita tidak mengetahui karena kita tidak mempunyat alat untuk mengoreksi kesalahan itu.
b. Kalau kita hanya mengikut saja kepada terjemahan pengarang-pengarang itu, maka artinya kita masih bertaqlid, belum Mujtahid.
c. Dalam kenyataannya terjemahan-terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang sudah ada di Indonesia, terdapat perbedaan-perbedaan arti satu sama lain dari satu ayat. Masing-masingnya memberikan arti menurut pendapatnya saja. Misalnya perkataan "laamas-tum" dalam Surat Nisa', ayat ke 43, terdapat terjemahan yang berlain-lainan.

Dalam terjemahan A berbunyi : "Atau kamu telah menyentuh perempuan" . (halaman 125).
Dalam terjemahan B berbunyi : "Atau kamu sentuh perempuan-perempuan". (halaman 159).
Dalam terjemahan C berbunyi : 'Atau kamu sudah campur dengan isterimu". (halaman 71).
Dalam terjemahan D berbunyi: "Atau kamu campur dengan perempuan". (halaman 119).

Ma'af, di sini tidak dituliskan nama pengarang dari kitab terjemahan Al-Quran itu, sebab pengarang-pengarangnya ada yang masih hidup dan mungkin merasa keberatan kalau namanya dicantumkan di sini.

Ayat ini ialah tentang soal yang “membatalkan wudhu''. Perhatikanlah baik-baik dengan tenang! Dengan keempat terjemahan itu, terdapat perbedaan-perbedaan arti yang juga dapat menimbulkan perbedaan-perbedaan hukum yang keluar dari ayat ini.

Menurut terjemahan A, berarti bahwa sekalian persentuhan dengan perempuan membatalkan wudhu’. Tidak perduli apakah perempuan itu ibu, saudara, anak, mertua dan lain-lain sebagainya, karena dalam terjemahan itu hanya dikatakan : “atau kamu telah menyentuh perempuan".

Menurut terjemahan B, timbul hukum bahwa bersentuh dengan seorang perempuan tidak membatalkan wudhu'. Yang membatalkan ialah bersentuhan dengan banyak perempuan, karena dalam terjemahannya dlkatakan : “atau kamu sentuh perempuan-perempuan".

Menurut terjemahan C, menimbulkan pengertian bahwa bercampur dengan isteri membatalkan wudhu'. Apakah arti "bercampur” dalam bahasa Indonesia ? Artinya ialah bergaul atau berkumpul. Nah ! Menurut terjemahan C, bergaul saja dengan isteri sudah membatalkan wudhu’, tetapi bergaul dengan perempuan lain tidak membatalkan wudhu’, karena terjemahannya "atau kamu sudah campur dengan isterimu”. Tetapi kalau yang dimaksudkan dengan "bercampur" itu bersetubuh dengan isteri, maka yang membatalkan wudhu’, hanya bersetubuh dengan isteri. Adapun bersetubuh dengan orang lain tidak membatalkan wudhu’. Apakah begitu maksudnya ?

Menurut terjemahan D menimbulkan pengertian sama dengan terjemahan C. Akan tetapi bagi terjemahan D adalah bercampur dengan perempuan, bukan dengan isteri saja seperti terjemahan C.

Kesimpulannya, belumlah mungkin orang menggali hukum fiqih hanya bersandarkan dan berpedoman kepada arti ayat yang diberikan oleh pengarang-pengarang terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia. Sekali lagi ditekankan bahwa syarat mutlaq bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui bahasa Arab dalam segala seginya, karena Al Quran dan Hadits itu ditulis atau diturunkan oleh Tuhan dalam bahasa Arab yang mutunya sangat tinggi.

d. Harus diketahui, bahwa ayat ayat AL-Quran itu ditafsirkan artinya dengan hadits-hadits Nabi, atau dengan kata lain bahwa tafsiran Al-Quran haruslah menurut yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh semaunya saja menurut kemauan kita. Karena itu adalah syarat muthlaq bagi setiap Imam Mujtahid mengetahui seluruh hadits yang bersangkutan dengan ayat itu, yaitu hadits-hadits yang termaktub dalam kitab-kitab hadits yang 6 yaitu, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nisai dan Ibnu Majah. Dus, tidak cukup kalau baru hanya mengetahui tafsir Al-Quran dari Kitab-kitat Tafsir atau Kitab-kitab Terjemahan bahasa Indonesia itu.

2. Syarat yang kedua bagi Imam Mujtahid ialah mahir dalam hukum-hukum Al-Quran, yakni diketahui lebih dahulu mana di antara ayat Al-Quran itu yang umum sifatnya, yang khusus, yang mujmal, yang mubayan, yang muthlaq, yang muqayad, yang zahir, yang nash, yang nasikh, yang mansukh, yang muhakkam yang mutasyabih dan lain-lain sebagainya. Untuk mengetahui hal ini semuanya calon Imam Mujtahid harus mengerti Ilmu ushul Fiqih, kalau tidak, tidaklah mungkin menjadi Imam Mujtahid, tetapi harus menjadi orang bertaqlid saja kepada salah seorang Imam Mujtahid.
Memang berat syarat-syarat ini, karena seperti yang dikatakan di atas, bahwa jabatan Imam Mujahid itu adalah jabatan yang sangat tinggi, karena ia adalah sebagai pengganti Rasulullah dalam membentuk hukum agama .

3. Syarat yang ketiga bagi lmam Mujtahid ialah mengerti akan isi dan maksud Al-Quran keseluruhannya, ke 30 juznya. Pada ketika ia berijtihad dalam sesuatu masalah semua isi dari Al-Quran terbayang di kepalanya, sehingga tidak menimbulkan hukum yang bertentangan dengan salah satu dai ayat-ayat Al-Quran itu. Imam Syafi'i rahimahullah dalam usia 9 tahun telah hafal keseluruhan ayat Al-Quran di luar kepala, begitu juga Imam Hanafi telah hafal seluruh ayat Al-Quran di luar kepala semasa beliau masih kecil. Adalah tidak mungkin bagi seseorang Imam Mujtahid kalau ia hanya mengetahui 10, 20 atau 100 ayat saja, karena ayat-ayat Al-Quran sangkut-bersangkut antara satu dengan yang lainnya.
Untuk menggambarkan kesulitannya, baiklah kami nukilkan perkataan Imam Ibnul Arabi al Maliki, pengarang kitab Tafsir "Ahkamul Quran", bahwa gurunya mengatakan kepadanya, bahwa dalam surat Al Baqarah saja terdapat seribu perintah, seribu larangan, seribu hukum, seribu berita (Ahkamul Quran jilid
I, halaman 8).

4. Syarat yang ke-empat bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui 'Asbabun-nuzul" bagi setiap ayat itu, yakni mengetahui sebab maka ayat-ayat itu diturunkan. Seperti dimaklumi bahwa ayat-ayat suci Al-Quran bukan diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur selama 23 (duapuluh tiga) tahun.
Setiap ayat itu diturunkan karena ada perlunya, umpamanya untuk menjawab suatu pertanyaan dari rakyat, untuk mengalahkan sesuatu hujjah musuh, untuk suatu kabar yang diperlukan dan lain-lain sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran itu. Ini dinamai “Asbabun-nuzul", yaitu sebab-sebabnya turun. Setiap Imam Muitahid harus mengetahui Asbabun-nuzul, kalau tidak maka ia akan tersalah dalam mengartikan ayat-ayat itu.
Sebagai contoh dikemukakan, peristiwa-peristiwa di bawah ini:

a. Tersebut dalam Kitab. "Ahkamul Quran", juz l,halaman 28, bahwa dulu ada orang yang tersalah dalam mengartikan ayat, karena tidak tahu sebabnya maka ayat iru dirurunkan. Mereka membolehkan minum arak berdalilkan ayat Al Quran yang tersebut dalam surat Al Maidah, ayat 93 begini :

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوا وَّآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوا وَّآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوا وَّأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya : "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS AI Maidah : 93).

Nah, kata mereka, ayat ini membolehkan memakan atau meminum apa saja, kalau sudah mu'min dan sudah beramal saleh. Mereka tersalah dalam memberi arti kepada ayat ini karena tidak mengetahui “asbabun-nuzul", sebab-sebabnya maka ayat ini diturunkan.

Ayat ini justru untuk melarang minum arak, bukan untuk membolehkannya. Ceritanya begini : Dulu orang-orang Islam banyak minum arak, yakni sebelum dilarang. Kemudian turun ayat tersebut dalam surat Ar Baqarah : 219, yang menyuruh berhenti meminum arak itu. Sekumpulan orang Islam bertanya kepada Rasulullah : "Bagaimana-halnya kami yang sudah banyak minum arak dulu itu, yakni sebelum dilarang?” Maka turunlah ayat Al Maidah 93 ini, bahwa yang telah termakan atau terminum yang dulu-dulu itu tidak berdosa asal sekarang sudah iman dan sudah beramal saleh. Maka ayat ini turunnya untuk mencukupkan keterangan larangan, bukan untuk membolehkan apa saja untuk dimakan atau diminum.
b. Allah berfirman :

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya : "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS AI Baqarah : 115).

Kalau menurut lahir atau lafazh ayat ini saja bisa timbul hukum, bahwa menghadap kiblat dalam sembahyang tidak wajib, karena wajah Allah ada di mana-mana. Pengertian semacam itu salah. Ummat Islam dari dulu sampai sekarang telah ijma' (sepakat) mewajibkan menghadap kiblat dalam shalat yang lima waktu dan shalat yang sunnat yang lain. Kesalahan pengertian ayat itu timbul karena tidak mengetahui 'Asbabun-nuzul" yaitu sebab maka ayat itu diturunkan.

Sebab turunnya ayat ini adalah :

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membutuhkan banyak shalat sunnat, tetapi beliau dalam perjalanan mengendarai onta dari Mekkah ke Madinah. Pada ketika itu turun ayat tadi yang memberi izin untuk menghadap kemana saja pada ketika shalat sunnat dalam perjalanan di atas kendaraan. Jadi ayat ini khusus untuk shalat sunnat dalam perjalanan. Seseorang berlayar dengan kapal api, atau terbang dengan pesawat udara, atau berjalan jauh dengan mobil, sedang ia akan shalat sunnat. Pada ketika itu ia boleh menghadap dalam shalat kemana kendaraannya menghadap karena wajah Allah itu ada di mana-mana. Inilah arti ayat ini yang sebenarnya,yang mana kalau tidak tahu kisah ini, niscaya akan tersalah dalam menggali hukum dalam ayat ini.

Kesimpulannya : Ilmu Asbabun-nuzul adalah syarat bagi seseorang yang menjadi Imam Muitahid!

5. Syarat yang kelima bagi seseorang Imam Mujtahid ialah mengetahui hadits-hadits Nabi, sekurangnya apa yang telah termatub dalam Kitab-kitab Hadits yang 6, yaitu: 1. Sahih Bukhari, 2. Sahih Muslim. 3. Sahih Tirmidzi. 4. Sunan Nisai, 5. Sunan Abi Daud dan ke 6. Sunan Ibnu Majah. Dan sebaiknya mengerti juga hadits-hadits yang tersebut dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Mustadrak Hakim, Sahih Ibnu Hibban, SahihTabhrani, Sunan Daruquthni dan lain sebagainya.

Hal ini sangat perlu, karena hukum-hukum fiqih ini bersumber kepada Quran dan Hadits, bukan kepada Quran saja atau kepada aqal saja, atau pendapat manusia saja. Karena itu setiap Imam Mujtahid harus mengerti Quran dan Hadits.

6. Syarat yang ke-enam bagi setiap lmam Mujtahid ialah berkesanggupan menyisihkan mana hadits-hadits yang sahih mana yang maudhu' (yang dibuat-buat oleh musuh-musuh Islam), mana hadits yang kuat, dan mana hadits yang lemah. Hal ini dapat diketahui dengan mengetahui pula si"Rawi” yakni keadaannya orang yang meriwayatkan hadits itu. Ini penting, kalau tidak, kita akan terjerumus kepada mengambil hadits-hadits yang palsu, yang bercacat, yang lemah dan lain-lain sebagainya.

7. Mengerti dan tahu pula fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang terdahulu dalam masalah-masalah yang dihadapi. Ini sangat perlu, agar setiap Imam Mujtahid tidak terjerumus kepada mengeluarkan hukum yang melawan ijma', yaitu kesepakatan Imam-imam Mujtahid dalam suatu zaman. Oleh karena itu sekurangnya ia harus membaca dan memahami kitab-kitab karangan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam syafi’i, dan Imam Hanbali, yang semuanya bisa didapat waktu sekarang, karena sudah banyak dicetak pada percetakan-percetakan di Mesir.

Demikianlah diantaranya syarat-syarat yuridis bagi seorang Imam Mujtahid, di samping ada pula syarat-syarat yang lain, yaitu shaleh dan bertaqwa kepada Allah, berakhlak yang tinggi, tidak sombong dan tidak takabbur, tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang keji yang dilarang oleh agama Islam.

Nah, cobalah ukur diri kita masing-masing, apakah kita sudah mempunyai syarat yang cukup untuk menjadi imam Mujtahid atau belum. Kalau sudah cukup, dan benar-benar cukup, silahkanlah menjadi Imam Mujtahid dan tampilah kemuka secara terus terang mengatakan :"INILAH IJTIHAD SAYA”. Ummat yang banyak ini, yang kebanyakan sudah cerdas pula, tentu akan member nilai, apakah benar-benar orang ini sudah berhak menjadi Imam Mujtahid, ataukah masih “taqlid” kepada ulama-ulama lain.

Akan tetapi, kalau umpamanya belum memenuhi syarat di atas janganlah buru-buru, belajarlah dulu sampai matang. Ketika itu ikut saja salah seorang dari Imam Mujtahid yang terdahulu, umpamanya mengikuti Imam Syafi'i RA, misalnya.

Mengikuti Imam Mujtahid ini pada hakekatnya adalah mengikut Quran dan Hadits dalam arti yang sebenarnya, kata Syeikh Yusuf Dajwi, seorang yang pernah menjadi guru besar Universitas AI Azhar di Mesir.



Baca Selanjutnya

Minggu, 02 Desember 2012

ILMU HATI ( TASSAWUF )



Apabila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyedari akan perjalanan hal-hal ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesedaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa dekatnya Allah dengannya. Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahawa Allah sentiasa mengawasinya. Allah melihat segala gerak-gerinya, mendengar pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang Mukmin yang cermat dan berwaspada.

Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat Mukmin ialah:

1: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah
2: Hati tidak cenderung kepada harta, berasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.
3: Bertaubat dengan sebenarnya ( taubat nasuha ) dan tidak kembali lagi kepada kejahatan.
4: Rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah
5: Kehalusan kerohaniannya membuatnya berasa malu kepada Allah dan merendah diri kepada-Nya.


Hal diatas merujuk pada Firman Allah :

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat ( nanti ) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan ( yang benar ).” ( QS Al Isra 17 : 72 )

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” ( al Hajj 22 : 46 )

Kita berkewajipan memelihara hati, malah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam telah memperingatkan kita melalui sebuah hadis Baginda: “Ketahuilah bahawa dalam jasad manusia ada seketul daging ( segumpal darah ), jika baik daging tersebut, maka baiklah seluruh anggota dan jika rusak daging tersebut, maka rusaklah seluruh anggota, itulah hati.” ( Riwayat Shahih Bukhari dan Muslim ).

Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Shakhr radhiyallahu’anhu, dia mengatakan bahwa Rasulllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak melihat fisik dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat hati [ dan amal perbuatan ] kalian.” ( HR. Muslim no.2564 )

Hati merupakan tempat pandangan Allah. Hati diibaratkan sebagai pakaian yang kita gunakan. Kita akan selalu membersihkan pakaian yang kita gunakan lantaran akan dilihat oleh orang lain. Bagaimana pun juga, orang akan menilai kita dari pakaian yang kita gunakan.

Hati orang yang bersih, tercermin dari bersihnya jasad. Bagaimana pun juga, di dalam tubuh setiap manusia, terdapat segumpalan daging yang bernama hati. Bersih atau kotornya hati, menentukan sifat manusia yang memilikinya.

Begitu pun dengan hati. Allah akan melihat siapa kita melalui hati. Untuk itu, senantiasalah menjaga hati agar selalu bersih seperti kita menjaga pakaian kita agar selalu indah dipandang orang lain.


TASSAWUF ibarat kawah candradimuka yg membentuk jiwa kita matang, matang dlm segala hal..hatinya matang, pikirannya matang, karena hatinya Jernih dlm hatinya diliputi MAHABATULLAH cinta dan Rindu kepada ALLAH.

Jika dlm hati seorang insan telah diliputi cinta dan rindu kepada ALLAH maka hatinya bersih dari segala macam penyakit, hatinya jernih dan mantap, jika hati bersih dan jernih maka akan membawa mengantarkan diri kita pada manisnya Iman kepada ALLAH SWT.


INI BUKTI TASSAWUF dan KARAMAH TELAH ADA PADA ZAMAN BAGINDA RASULULLAH SHALALLAHU ALAIHI WASALLAM.

Sufi adalah ajaran kesucian Jiwa, setiap muslim mestilah ada ajaran tasawwufnya, karena kalau tidak maka ia akan menjadi fasiq, karena tasawwuf adalah mengajarkan khusyu, Jujur, setia, sabar, syukur, itu semua adalah ajaran tasawwuf, dan mereka yang menggeluti bidang itu disebut sufi.

Dizaman Nabi saw telah ada para sahabat yang disebut ahlusshuffah, mereka menginap disamping rumahnya Nabi saw, fuqara yang tak bekerja, mereka beribadah, berpuasa, dan belajar pada Nabi saw dan terus I'tikaf di masjid, diantaranya adalah Abu Hurairah ra.

Mengenai sufi yang bertentangan dengan syariah maka jangan menudu pada sufi, namun pada personilnya yg sesat, sebagaimana ulama yang menggeluti bidang fiqih disebut fuqaha, lalu jika ada fuqaha yang bertentangan dengan syariah lalu kita mengatakan semua fuqaha itu sesat, tentunya ini adalah pemahaman yang keliru.

Mengenai karamah telah ada di zaman Nabi saw, para sahabat yang mempunyai keramat, diriwayatkan dalam shahih Bukhari bahwa dua orang sahabat keluar dari rumah Nabi saw dimalam hari dan terlihat didepan mereka dua cahaya yang mengikuti mereka dan menerangi jalan mereka, ketika keduanya berpisah maka dua cahaya itu ikut masing masing pada keduanya,cahaya itu terus menerangi jalan mereka sampai mereka masuk rumah masing masing. ( Shahih Bukhari )

Juga teriwayatkan bahwa saat ABubakar shiddiq ra diperintah Nabi SAW untuk menjamu orang orang yang lapar, maka Abubakar shiddiq ra menyediakan makanan untuk dua - tiga orang saja, namun yang datang belasan orang, maka makanan itu malah semakin banyak dan cukup untuk belasan bahkan puluhan orang, berkat doa Abubakar shiddiq ra ( shahih Bukhari ).

Dan dimasa Umar ra menjadi khalifah, sedangkan para sahabat berperang di wilayah yg jauh dari madinah, maka saat mereka terdesak mereka mendengar teriakan Umar bin Khattab ra yang berkata : "keatas bukit... keatas bukit..!!", maka kami naik keatas bukit dan akhirnya kami menang, sedangkan di Madinah saat itu Khalifah Umar bin Khattab ra sedang khutbah diatas mimbar, tiba tiba beliau berteriak didepan hadirin : "keatas bukit.. keatas bukit..!!", maka para hadirin bingung, kenapa ini khalifah berteriak teriak seperti itu, dan maknanya tak mereka fahami,

Setelah pasukan perang kembali dari peperangan maka barulah penduduk madinah tahu bahwa Khalifah Umar bin Khattab ra saat sedang khutbah ia melihat kejadian peperangan disana, seraya berteriak dari Madinah dan suaranya didengar di tempat yang jauh itu.

Keramat seperti ini banyak dan tak terhitung, yang mengingkarinya adalah karena kedangkalan pemahaman syariahnya saja.

Ada juga kejadian makanan yang bertasbih didengar oleh para sahabat, mereka itu mendengarnya dengan telinganya ( Shahih Bukhari ), Allah mengizinkan makanan itu bersuara, sebagaiman Allah mengizinkan pula batang pohon kurma yang merintih ketika Rasul SAW pindah darinya saat berkhutbah jumat ( Shahih Bukhari ).

Dengan akal kita tidak mungkin bs mencerna tentang mukjizat para Nabi yang diriwayatkan dalam Kitab Suci Al Qur'an dan karamah yang diriwayatkan banyak dalam hadist shohih tersebut namun dngn hati yang jernih diliputi Iman kepada Allah tentu kita bs mencernanya dan memahaminya bahkan percaya sepenuhnya, sama halnya dengan karamah hanya bisa dicerna dngn hati yang jernih, "nahhh hati yang jernih itulah TASSAWUF".




Baca Selanjutnya

KHOLAF ADALAH PENERUS SALAF

Sekitar Istilah Salaf dan Khalaf

Di Antara gejala buruk yang berlaku dalam bidang ilmu agama adalah munculnya golongan yang mengaku lebih memahami manhaj salaf di banding para ulama' sebelum mereka yakni ulama yang di sebut "khalaf". Untuk menjadikan diri mereka berhak mengetahui siapa sebenarnya salaf dan apa sebenarnya manhaj salaf, maka mereka menamakan diri mereka
dengan nama "salafi", yaitu orang yang mengikut jejak salaf.

Ketidak tauan Terhadap Istilah

Golongan intelektual yang setengah matang yang muncul dalam lapangan intelektual Islam terpaksa menciptakan terminologi-terminologi (mustalahat) baru untuk mengelabui golongan yang lebih jahil daripada mereka. Lalu, mereka menggunakan istilah tertentu dengan takrif/definisi baru yang menyimpang dari penggunaan asalnnya dengan tujuan untuk mendominasi dan memonopoli istilah tersebut.

Maka, muncullah terminologi seperti "salafi", "khalafi" dan sebagainya yang mana sebelumnya, para ulama' hanya menggunakan istilah khalaf dan salaf saja.

Salafi menurut golongan (baru) ini adalah: "orang2 yang mengikuti manhaj salaf".

Khalafi menurut golongan (baru) ini adalah: "orang yang tidak mengikut manhaj salaf".

Padahal, istilah salaf dan khalaf yang digunakan oleh para ulama' secara sepakat sebelum munculnya golongan ini adalah:

Salaf: Generasi yang hidup dalam kurun pertama sehingga kurun ketiga hijrah, atau sampai kurun kelima hijrah. pendapat Paling kuat adalah, sampai kurun ketiga hijrah.

Khalaf: Generasi yang hidup setelah kurun ketiga atau kelima hijrah.

Maka, istilah salaf dan khalaf dalam penggunaan asal dari para ulama' tidak pernah di maksudkan sebagai suatu perbedaan manhaj, tetapi lebih di maksudkan pada perbedaan tempo masa. Sampai pada masa munculnya golongan yang mengaku sebagai salafi, yang padahal mereka hanyalah meneruskan semangat Ibn Taimiyyah yang sering mengaku lebih memahami salaf di banding dengan ulama'-ulama' lain sebelumnya atau yang sezaman dengannya khususnya dari kalangan Asya'irah yang dianggap kurang memahami manhaj salaf, lalu memulai usaha menamakan diri sebagai salafi dan lalu menamakan selain mereka sebagai khalafi.

Dengan usaha mereka ini, mereka mencetuskan suatu perkembangan di mana golongan ulama' yang berlainan faham dengan mereka dianggap tidak mengikuti salaf walaupun para ulama' tersebut adalah majoritas ulama' Islam. Bagi mereka, tokoh-tokoh yang memahami "salaf" yang sebenarnya hanyalah beberapa individu saja seperti Sheikh Ibn Taimiyyah, Sheikh Ibn Al-Qayyim, Sheikh Muhammad Abdul Wahab dan sebagainya.

Sedangkan, majoritas ulama' lain yang beraliran Asya'irah dan Maturidiyyah dalam bidang aqidah adalah "khalafi" yang tidak mengikut mazhab dan manhaj Salaf yang sebenarnya. Sebagai contoh, muncullah sautu situasi di mana seorang insan yang mungkin hanya seorang pekerja , mengaku lebih memahami salaf di banding Hujjatul Islam, Al-Imam, Al-Mujtahid, Al-Faqih, Al-Usuli Sheikh An-Nizhamiyyah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali yang merupakan mudir sebuah madrasah terbesar di zaman beliau iaitulah Al-Madrasah An-Nizhamiyyah.

pada Situasi yang lain pula muncul seorang insan kerdil yang tidak mengenal perbedaan antara mubtada' dengan khabar, lalu mengaku lebih mengikut Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah aqidah ,di banding Al-Imam Al-Hafiz Al-Muhaddith Amirul Mu'minin fi Al-Hadith Ibn Hajar Al-Asqollani, pensyarah kitab Sahih Al-Bukhari, hanya di karanakan Imam Ibn Hajar mempunyai pendirian dengan aqidah manhaj Al-Asy'ari.

Lihatlah ukuran peristiwa-peristiwa ini. Tidak adakah suatu bid'ah yang lebih besar daripada bid'ah seperti ini? maka Ungkapan: saya "salafi", bahkan lebih "salafi" daripada Al-Imam Al-Ghazali (hidup tahun 450 Hijrah dan meninggal dunia tahun 505 Hijrah), bahkan lebih memahami sunnah dan bid'ah di banding Al-Imam As-Syafi'e (150-204 H), seolah-olah hal semacam ini berkumandang secara lisan ha oleh pengikut golongan ini.

Khalaf adalah Penerus Manhaj Salaf

Seseorang perlu mengetahui bahawasanya yang dimaksudkan sebagai "Khalaf" adalah para ulama' yang hidup setelah berlalunya zaman salaf yang meneruskan manhaj umum para ulama' salaf. Khalaf tidak pernah di artikan dengan suatu golongan ulama' yang berbeda dengan ulama'-ulama' salaf dari sudut aqidah, manhaj fiqh dan akhlak.

Istilah salaf sendiri berarti:


سَلَفَ يَسْلُفُ سَلَفاً وسُلُوفاً: تقدَّم

Maksudnya: Salaf: Taqaddam yaitu terdahulu. [Lisan Al-'Arab, madah salafa]


والسَّلَفُ والسَّلِيفُ والسُّلْفَةُ: الجماعَةُ المتقدمون

Maksudnya: "As-Salaf, As-Salif dan As-Sulfah: Golongan Terdahulu [ibid]

Jadi, seseorang yang mengaku sebagai "salafi" secara bahasa berarti orang yang terdahulu. Sepatutnya sudah tidak hidup lagi karana sudah sepatutnya digantikan oleh orang yang kemudian. Oleh karana itulah para ulama' salaf tidak menyebut diri mereka sebagai "salafi" ketika mereka hidup karena para ulama' khalaflah yang memanggil mereka sebagai ulama' salaf karana mereka telah berlalu dan mendahului generasi kemudian.

Khalaf berarti generasi yang ditinggalkan setelah generasi terdahulu. Ia berasal dari perkataan khalafa yang berarti ke belakang atau kemudian.


الخَلْفُ ضدّ قُدّام

Maksudnya: Khalfu adalah lawan bagi Quddam ( terdahulu) [Lisan Al-'Arab, madah: khalafa]

Seseorang tidak akan dinamakan sebagai khalaf dari sesuatu melainkan dia penerus apa yang dilakukan oleh orang terdahulunya. Maka, dinamakanlah para ulama' khalaf sebagai khalaf karana mereka meneruskan apa yang dipegang oleh ulama' salaf, bukan karana mereka berbeda dengan salaf. Orang yang memahami bahwa ulama' khalaf berbeda dengan ulama' salaf dari sudut pegangan dan femahaman agama yang usul itu adalah suatu femahaman batil terhadap maksud khalaf itu sendiri.

Rasulullah s.a.w. sendiri memuji generasi khalaf ini yang meneruskan usaha menjaga kemurnian agama daripada golongan jahil dan batil.

Rasulullah s.a.w. bersabda:


يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله، ينفون عنه تحريف الغالين، وانتحال المبطلين، وتأويل الجاهلين

Maksudnya: "Ilmu ini akan dipikul oleh setiap khalaf (orang yang kemudian) dari kalangan yang adil daripadanya, yang menafikan tahrif (penyelewengan) orang yang melampaui batas , kepincangan golongan pembuat kebatilan dan takwilan dari orang-orang jahil".

[Hadith diriwayatkan secara mursal dalam sebahagian riwayat (Misykat Al-Mashabih) dan disambung secara sanadnya kepada sahabat kepada Rasulullah s.a.w. oleh Al-Imam Al-'Ala'ie. As-Safarini mengatakan sahih dalam kitab Al-Qaul Al-'Ali m/s: 227]

Ulama' Khalaf adalah "Salaf" (Pengikut Salaf) Pada Generasi Setelah Zaman Salaf

Kita perlu menyadari hakikat ini, dengan menyusuri sejarah dan lembaran tulisan ulama' tentang hakikat bahawasanya majoritas ulama' khalaf sebenarnya adalah penerus manhaj dan faham ulama' salaf dalam bidang agama. Nama-nama seperti Asya'irah, Maturidiyyah dan sebagainya dalam bidang aqidah adalah suatu tradisi yang sama seperti hal nama-nama Syafi'iyyah, Malikiiyyah, Ahnaf dan Hanabilah dalam bidang fiqh. Ia tidak lebih daripada himpunan manhaj yang seragam dan perkembangan kaedah pendalilan (istidlal) dalam sesuatu bidang ilmu, bukan suatu penyimpangan atau berlaianan daripada apa yang difahami oleh salaf. Hatta yang mengaku "Salafi" juga adalah berlainan daripada salaf itu sendiri.

Oleh sebab itulah, banyak tokoh-tokoh Asya'irah dalam bidang aqidah menulis kitab-kitab aqidah lalu menisbahkan aqidah mereka kepada as-salaf as-sholeh. Antaranya adalah:

Al-Imam Al-Hafiz Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi Al-Asy'ari yang menulis kitab berjudul:


الاعتقاد علي مذهب السلف اهل السنه و الجماعه

(Al-I'tiqad 'ala Mazhab As-Salaf Ahl As-Sunnah wal Jamaah yang maksudnya: Kepercayaan aqidah berteraskan mazhab Salaf ahli sunnah wal jamaah).

Sudah pasti kitab ini mengandungi pembahasan-pembahasan aqidah secara manhaj Asya'irah, namun di sisi Al-Imam Al-Baihaqi, itu tidak lain melainkan aqidah mazhab Salaf juga. Jadi, Asya'irah juga adalah "Salafiyyah" (jika ingin menggunakan istilah sekarang) pada asalnya, bahkan lebih awal ke"Salafiyyah"an mereka di banding Salafiyyah Wahabiyyah yang muncul kemudian.

Begitu juga Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang menulis kitab berjudul:

Iljam Al-Awam 'An Ilm Al-Kalam

Dalam kitab tersebut menjelaskan manhaj salaf yang sebenarnya dalam berinteraksi dengan ayat-ayat dan hadith-hadith mutasyabihat dengan cara tafwidh. Beliau menisbahkan manhaj ini (walaupun beliau sebagai di antara ulama' Asya'irah) kepada manhaj As-Salaf AS-Sholeh. Dalam Muqoddimah kitab ini, Al-Imam Al-Ghazali mengkritik Hasyawiyyah yang memahami nas-nas yang dhahirnya tasybih secara dhahir, lalu mengaku bahwa itu sebagai aqidah salaf, kemudian beliau menjelaskan manhaj as-salaf yang sebenarnya secara manhaj asy'ari. Maka, Al-Ghazali juga menetapkan ke"salafi"an beliau tanpa mengaku "salafi".

Oleh sebab itu, tokoh besar Al-Azhar AS-Syarif, Sheikh Abu Zahrah menjelaskan permasalahan Asya'irah, Maturidiyyah, Ibn Taimiyyah dan Wahabi dalam masalah aqidah di mana mereka berusaha mengaku siapa lebih memahami as-salaf yang sebenarnya. Kemudian, Sheikh Abu Zahrah menguatkan pendapat bahawasanya, cara Al-Imam Al-Ghazali (Asya'irah) dan Maturidiyyah dalam memahami Salaf lebih tepat di banding cara Ibn Taimiyyah memahami salaf dalam masalah aqidah. [Rujuk kitab Tarikh Al-Mazahib Al-Islamiyyah]

Mengaku "Salafi" Adalah Bid'ah yang Bahaya

Maka, benarlah kesimpulan yang dibuat oleh tokoh besar yaitu Sheikh Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buti dalam kitab As-Salafiyyah, bahawasanya bermazhab dengan mazhab salafi adalah suatu bid'ah yang bahaya. Silahkan rujuk di sini: http://www.dahsha.com/uploads/SalafyyaBouti.pdf

Ini karena itu,mereka menyimpulkan beberapa perkara:

As-Salaf itu bukan semata-mata suatu zaman yang diberkati, tetapi suatu himpunan keseragaman manhaj dalam bidang agama. Padahal, keseragaman manhaj dalam bidang agama tidak berlaku dalam keseluruhan salaf. Dalam bidang fiqh saja ada perbedaan antara Ahl Hadith dengan Ahl Ra'yi. Dalam bidang aqidah juga berbeda-beda manhajnya. Al-Imam Ahmad berbeza dengan Al-Imam Al-Muhasibi dan Ibn Kullab. Begitu juga Al-Imam Al-Bukhari berbeda dengan Al-Imam Ahmad dalam masalah lafaz Al-Qur'an. Begitu juga masalah-masalah lain. Jadi, tidak ada namanya mazhab salaf dalam arti kata bahwa itu suatu himpunan keseragaman manhaj dalam bidang agama. As-Salaf dalam istilah yang sebenar nya hanyalah suatu tempo masa yang diberkati.

mereka seolah-olah mengeluarkan selain "salafiyyah" daripada pengikut salaf yang sebenarnya. Oleh karena itulah, munculnya Salafiyyah Wahabiyyah yang menafikan Asya'irah, Maturidiyyah, Sufiyyah dan sebagainya sebagai pengikut salaf yang sebenarnya. Salafiyyah Wahabiyyah telah memenangkan dominasi slogan "mengikuti salaf", lalu menganggap selain mereka sebagai :"tidak mengikuti salaf". Ini suatu prasangka yang bahaya karana tidak mengikut salaf dalam masalah usul agama berarti tidak mengikut Rasulullah s.a.w. dan para sahabat r.a.. Ini adalah tuduhan yang sangat bahaya. Oleh karana itulah, banyak orang jahil menganggap bahwa para ulama' Asya'irah, MAturidiyyah dan Sufiyyah tidak mengikut aqidah sebenar Rasulullah s.a.w. dan para sahabat r.a.. Ini membawa kepada menuduh sesat selain yang mengaku "salafi".

Padahal, Asya'irah, Maturidiyyah, Sufiyyah dan sebagainya yang masih dalam lingkungan mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah hanya berbeda dari sudut manhaj dan pendekatan dalam bidang agama, bukan berbeda isi kandungan femahaman agama dengan as-salaf. Pendekatan dan manhaj adalah suatu yang berkembang mengikut zaman sebagaimana juga munculnya mazhab fiqh pada awal kurun ketiga hijrah lalu diteruskan hingga hari ini. Tidak boleh seseorang mengatakan mazhab syafi'e, atau mazhab maliki, bukan fiqh Rasulullah s.a.w, karana mazhab adalah himpunan cara ulama' memahami dalil-dalil yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w..

Maka, tidak perlu mengaku "salafi" untuk dinilai sebagai mengikut as-salaf as-sholeh. Ukurannya jelas yaitu dengan memahami agama mengikut femahaman as-salaf as-sholeh. dengan meRujuk kitab-kitab ulama' salaf sendiri. Bukan sekadar merujuk satu dua tokoh yang ada kemudian yang mengaku bahwa hanya mereka saja yang memahami salaf. ini Adalah suatu hal yang pincang apabila seseorang menjelaskan tentang manhaj salaf namun rujukannya bukan salaf seperti Sheikh Ibn Taimiyyah dan Muhammad Abdul Wahab sedangkan banyak lagi tulisan para ulama' salaf muktabar yang bisa dirujuk. Sheikh Ibn Taimiyyah tidak mesti tepat dalam memahami maksud dan isi perkataan dan femahaman salaf dalam semua masalah dan juga para ulama' lain tidak mesti tidak memahami salaf yang sebenarnya. Banyakkanlah bahan kajian agar kita jujur dalam membuat kajian.

Sumber: http://goo.gl/O6PQX
Baca Selanjutnya