By
Ustadz Muhammad Idrus Ramli
Dalam tradisi kaum Muslim Nusantara,
ketika ada seorang Muslim meninggal dunia, maka pihak keluarga si mati
mengadakan selamatan atau kenduri, yang dihadiri oleh keluarga, tetangga dan
handai taulan untuk membacakan al-Qur’an, Tahlilan dan mendoakan si mati
bersama-sama.Kemudian diakhiri dengan makan bersama, dari makanan yang
disiapkan oleh keluarga si mati.
Menyikapi tradisi kenduri kematian tersebut, terlepas apakah berasal dari tradisi sebelum masuknya Islam ke Nusantara atau tidak, umat Islam Nusantara memilih untuk melestarikannya sebagai kultur dan budaya bangsa. Namun akhir-akhir ini, ada satu kelompok umat Islam, yang sangat keras menyikapinya dan berupaya menghapusnya sampai ke akar-akarnya dengan alasan tradisi tersebut melanggar hukum Islam, tidak sesuai dengan sunnah Rasul saw dan tradisi kaum salaf yang shaleh. Oleh karena itu, uraian tentang hukum kenduri kematian dari berbagai perspektif menjadi penting untuk dikaji.
Berkaitan dengan tradisi kenduri kematian ini, ada beberapa pendapat di kalangan para ulama yang perlu kita jadikan renungan, agar tidak gegabah dan radikal dalam menyikapinya.
Pertama, menurut mayoritas ulama kenduri kematian hukumnya makruh, tetapi
kemakruhan ini tidak sampai menghilangkan pahala sedekah yang dilakukan. Jadi dilihat
dari proses pelaksanaanya, dihukumi makruh, tetapi dilihat dari esensi
sedekahnya tetap mendatangkan pahala. Akan tetapi hukum makruh ini akan
meningkat volumenya menjadi hukum haram, apabila makanan tersebut diambilkan
dari harta ahli waris yang mahjur (tidak boleh mengelola hartanya seperti anak
yatim dan belum dewasa), atau dapat menimbulkan madarat bagi keluarga si mati.
Dan hukum makruh ini akan menjadi hilang, apabila makanan yang dihidangkan
merupakan hasil dari sumbangan dan kontribusi tetangga seperti yang seringkali
terjadi dalam budaya nusantara.
Kedua, riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi orang-orang yang datang melayat. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan:
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Setelah Khalifah Umar ditikam oleh Abu Lu’luah al-Majusi, maka ia memerintahkan Shuhaib agar menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu Rasulullah meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya.” (HR. Ibnu Mani’).
Ketiga, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi , bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah Umar sebelum wafat, dan dilakukan oleh Sayyidah Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenduri kematian bukanlah perbuatan yang dilarang dalam agama.
Keempat, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama
tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Kelima, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Hal ini seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdullah al-Jurdani, dalam Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218.
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan
orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri
antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama
salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh
hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak
generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh
Hijriah.
Sedangkan tradisi kenduri pada hari ke 40, 100, 1000 dan lain-lain, adalah
boleh dan hal tersebut hanya semata-mata tradisi yang berkembang. (Syaikh
Nawawi Banten, Nihayah al-Zain, hal. 281). Hal ini didasarkan pada hadits
berikut ini:
“Dari Ibnu Umar , beliau berkata: “Nabi selalu mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar juga sering melakukannya.”
“Dari Ibnu Umar , beliau berkata: “Nabi selalu mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar juga sering melakukannya.”
Mengomentari hadits tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari:
“Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda-beda, mengandung petunjuk atas bolehnya menentukan sebagian hari-hari tertentu dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara terus menerus.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hal. 69). (Wallahu a’lam).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Anda sopan kamipun segan :)