- Wahabiyah adalah suatu kelompok yang mengikuti seseorang yang bernama Muhammad ibn Abdul Wahhab yang muncul di Nejd sejak sekitar 250 tahun yang lalu, dimana Rasulullah rpernah bersabda tentang Nejed:
Maknanya: “Di sana akan muncul tanduk syetan”. (Diriwayatkan oleh al Bukhari).
Muhammad ibn Abdul Wahhab telah menyiapkan kelompok ini sebagai musuh Islam dan mereka mengklaim kelompoknya dengan gerakan salafiyah agar mereka bisa memerangi Islam dengan kedok Islam. Sedangkan guru mereka Muhammad ibn Abdul Wahhab adalah didikan mata-mata penjajah Inggris Jefri Hamford.[1]
- Gerakan Wahabiyah mempunyai beberapa doktrin dasar dan yang paling berbahaya adalah pengkafiran secara umum pada setiap orang yang berbeda dengan mereka, dan dengan itu mereka juga menghalalkan darah umat Islam dan menjadikannya sebagai payung untuk membentangkan kekuasaannya di jazirah Arabia dan al Haramain (Makkah dan Madinah).[2]
- Wahabiyah adalah khawarij abad 12, Nabi bersabda:
Maknanya: “Akan muncul orang-orang dari timur dan mereka membaca al Qur’an yang tidak sampai tenggorokan, mereka melesat keluar dari agama seperti anak panah melesat dari busurnya, tanda-tanda mereka adalah mencukur habis rambut kepalanya”. (HR. al Bukhari).[3]
Di antara orang yang menamakan mereka dengan khawarij adalah Imam Ibn ‘Abidin al Hanafi[4] dalam hasyiyahnya terhadap kitab Radd al Muhtar.[5] Syekh Ahmad Zaini Dahlan mufti madzhab Syafi’i di Makkah al Mukarramah telah mengutip dari mufti Zabid al Sayyid Abdurrahman al Ahdal, beliau mengatakan tidak perlu menulis sebuah kitab untuk membantah Wahabiyah, tetapi cukup untuk membantah mereka dengan sabda -ShalalAllahu alaihi wasallam- tanda-tanda mereka adalah mencukur rambutnya,[6] sebab hal itu tidak dilakukan oleh seorangpun dari para ahli bid’ah selain mereka.[7]
- Muhammad ibn Abdul Wahhab: Para ulama pada masanya mentahdzir (mengingatkan kesesatan) dia dan menjelaskan penyimpangan dan kesesatannya,[8] termasuk ayah dan saudaranya yang bernama syekh Sulaiman. Saudaranya mengarang dua risalah dalam membantah Muhammad ibn Abdul Wahhab yang pertama berjudul Fashl al Khithab fi al raddi ‘ala Muhammad ibn Abdul Wahhab dan yang kedua berjudul al Shawa’iq al Ilahiyah fi al Raddi ‘ala al Wahabiyah. Para gurunya juga ikut mentahdzir (mengingatkan kesesatan) dia seperti syekh Muhammad ibn Sulaiman al Kurdi dalam kitabnya al Fatawa.
- Muhammad ibn Abdul Wahhab tidak menganggap keberadaan seorang muslimpun di atas bumi selain jama’ahnya dan setiap orang yang menentangnya ia kirim orang untuk membunuhnya di tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena dia mengkafirkan umat Islam dan menghalalkan darah mereka.[9] Kalau ada seseorang yang masuk ke jama’ahnya dan dia telah haji sesuai dengan aturan Islam, ia mengatakan kepadanya berhajilah lagi karena hajimu yang pertama tidak diterima dan belum gugur kewajibannya karena kamu musyrik ketika itu. Apabila ada seseorang yang ingin masuk dalam agamanya, ia mengatakan kepadanya setelah mengucapkan dua kalimah syahadat: bersaksilah pada dirimu sendiri bahwa kamu dahulu kafir, dan bersaksilah bahwa kedua orang tuamu mati dalam keadaan kafir, dan juga si fulan dan si fulan. Dia juga menganggap bahwa mayoritas ulama sebelumnya kafir, kalau mereka mau mengucapkan syahadat maka dianggap masuk Islam dan apabila tidak maka ia membunuhnya. Dengan lantang ia mengkafirkan umat Islam sejak 600 tahun dan mengkafirkan orang-orang yang tidak mengikutinya, ia menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik dan menghalalkan darah dan harta mereka.[10]
- Sejarah hitam Wahabiyah menjadi saksi bahwa kelompok Wahabi sejak munculnya hingga sekarang tidak pernah berperang kecuali melawan umat Islam. Di antara bukti sejarah itu adalah mereka menyerbu Yordania bagian timur dan menyembelih kaum perempuan dan anak-anak yang mereka temui sehingga total korban berjumlah 2750 orang. Perang ini yang dikenal dengan sebutan perang al Khuya.[11]
- Wahabiyah menganut aqidah tasybih dan tajsim, dalam kitab Majmu’ al Fatawa Ibn Taimiyah mengatakan:
قَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ : إِنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ يُجْلِسُهُ رُبُّهُ عَلَى الْعَرْشِ مَعَهُ
“Sesungguhnya Muhammad Rasulullah r Tuhannya mendudukkannya di atas “Arsy bersamaNya”.[12]
Ia juga mengatakan:
وَيَقُولُ: إِنَّ اللهَ يَنْزِلُ عَنِ الْعَرْشِ وَلاَ يَخْلُوْ مِنهُ الْعَرْشُ
“Sesungguhnya Allah turun dari Arsy akan tetapi Arsy tidak pernah kosong dariNya”.[13]
Ia juga menetapkan sifat duduk bagi Allah ta’ala. Semoga Allah melindungi kita dari aqidah seperti ini, maha suci Allah dari yang dikatakan oleh orang-orang kafir.
Sedangkan Ahlussunnah Wal Jama’ah, mereka mensucikan Allah ta’ala dari sifat-sifat makhluk seperti duduk, bersemayam dan bertempat pada satu tempat. Imam Abu Mansur al Baghdadi[14] telah mengutip ijma’ ulama atas kemahasucian Allah ta’ala dari tempat, beliau mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ
“Mereka (Ahlussunnah) telah sepakat bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan tidak berlaku baginya zaman”.[15]
Imam Ali ibn Abi Thalib mengatakan:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
Maknanya: “Allah ada pada azal dan belum ada tempat dan dia sekarang (setelah ada tempat) tetap seperti semula (ada tanpa tempat)“.
Beliau juga mengatakan:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ
Maknanya: “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk menunjukkan kekuasaannya dan tidak menjadikannya sebagai tempat bagi dzat-Nya”.[16]
- Wahabiyah telah mereduksi teks-teks al Qur’an al Karim dan menafsirkan kitab Allah tersebut dengan penafsiran yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Abdul Aziz ibn Baz menafsirkan al Istiwa’ dengan bersemayam dan ia mengatakan bahwa orang yang mengingkari penafsiran ini adalah orang Jahmiyah.[17] Apa yang akan Ibn Baz katakan tentang imam Ahlussunnah al Imam al Baihaqi rahimahullah apakah dia menganggapnya sebagai orang jahmiyah atau bukan?! Imam al Baihaqi[18] dalam kitab al I’tiqad telah mengatakan: “Wajib untuk mengetahui bahwa Istiwanya Allah subhanahu wa ta’ala bukanlah istiwa yang berarti tegak dari bengkok, bukan bersemayam pada tempat, bukan menempel pada makhluk-Nya, akan tetapi Allah istiwa atas Arsy’-Nya tanpa disifati dengan sifat makhluk dan tanpa tempat. Allah tidak serupa dengan seluruh makhluk-Nya dan bahwa ityanNya bukan datang dari satu tempat ke tempat yang lain, dan bahwa maji’-Nya juga bukan dengan bergerak, dan bahwa nuzul-Nya bukan dengan berpindah dan bahwa dzat Allah bukan jisim dan bahwa yad-Nya bukan anggota badan, dan ‘ain-Nya bukan kelopak mata, tetapi ini semua adalah sifat-sifat yang telah datang secara tauqifi (ditetapkan syara’) maka kita mengatakan adanya sifat-sifat itu dan kita menafikan sifat makhluk dari-Nya“.[19] Allah ta’ala telah berfirman: (al Ikhlas: 4), (asy Syura; 11).
- Wahabiyah mengatakan bahwa menafikan dan menetapkan jisim bagi Allah bukanlah termasuk madzhab salaf karena hal itu tidak ada dalam al Qur’an dan sunnah juga tidak ada dalam perkataan para salaf.[20] Penulis anggap ini adalah ketidaktahuan terhadap sang pencipta dan juga tidak mengetahui aqidah yang diyakini para salaf. Diriwayatkan dari sayyidina Ali bahwa beliau mengatakan:
Maknanya: “Sesungguhnya Tuhanku azza wa jalla adalah al Awwal (adanya tanpa permulaan) tidak bermula dari sesuatupun (ada tanpa permulaan), tidak bersama-Nya sesuatupun (tidak bertempat pada sesuatu), tidak dapat dibayangkan (tidak seperti yang dibayangkan oleh wahm), bukan jisim, tidak diliputi oleh tempat dan adanya tidak bermula dari ketidak adaan. “
Kemudian beliau mengatakan:
مَنْ زَعَمَ أَنَّ إِلهَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ
Maknanya: “Barang siapa yang menyangka bahwa Tuhan kita mahdud (memiliki bentuk dan ukuran) maka dia tidak mengetahui pencipta yang disembah” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim).[21]
Apakah orang-orang Wahabiyah tidak mengetahui bahwa imam Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat Rasulullah yang masuk Islam pada awal masa dakwah dan apakah mereka juga tidak mengetahui bahwa imam Ahmad ibn Hanbal semoga Allah meridhainya yang mereka klaim bahwa mereka berintisab kepadanya telah mengingkari orang yag mengatakan bahwa Allah itu jisim. Perkataan tersebut dikutip oleh pemuka ulama Hanbali di Baghdad dan juga anak dari pemuka ulama Hanbali Abu al Fadhl al Tamimi, bahkan kita tambahkan kepada orang Wahabi satu perkataan bahwa para ulama salaf telah sepakat atas kufurnya orang yang mengatakan bahwa Allah itu jisim, Imam Ahlussunnah Abu al Hasan al Asy’ari dan beliau termasuk imam salaf dalam kitabnya al Nawadir mengatakan: “Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah itu jisim maka ia tidak mengenal Tuhannya dan dia kafir kepada-Nya”.
- Wahabiyah menetapkan had (batasan) pada Allah dan mengatakan bahwa orang yang mengingkarinya telah kufur terhadap al Qur’an, dikutip oleh Ibn Taimiyah dari salah seorang mujassimah dan dia menyetujuinya.[22] Ibn Taimiyah juga mengutip perkataan salah seorang mujassimah dan ia membenarkannya: “Umat Islam dan orang kafir telah sepakat bahwa Allah ada di langit dan mereka membatasinya dengan itu”.[23] Padahal imam Abu Ja’far al Thahawi telah mengutip ijma’ umat Islam atas kesucian Allah dari had, beliau mengatakan:
Maknanya: “Maha suci Allah dari batasan-batasn, ujung-ujung, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan anggota badan yang kecil dan tidak diliputi oleh arah yang enam seperti keseluruhan makhluk”. (makhlukNya diliputi oleh enam arah penjuru sedangkan Allah tidak demikian)
_____ Catatan Kaki_____
[1] Buku catatan Jefri Hamford
[2] Musthafa al Sa’dhan, al Harakah al Wahhabiyah.
[3] Shahih al Bukhari Kitab al Tauhid bab Qira’ah al Fajir wa al Munafiq, hal. 7562
[4] Ibnu Abidin al Hanafi, nama lengkapnya adalah Muhammad Amin ibn Umar ibn Abdul Aziz ‘Abidin ad Dimasyqi. Dilahirkan pada tahun 1198 H di Damaskus. Di antara karya tulisnya adalah Raddul Mukhtar ‘Ala ad Durri alMukhtar (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin), Raf’u al Andzar ‘Amma Auradahu al Halabi ‘Ala ad Durri alMukhtar, Hasyiayah ‘ala al Muthawwal fi al Balaghah, Hawasyi Tafsir al Baidhawi, ar Rahiq al Makhtum fi al Faraid dan lainnya. Wafat pada 21 Rabi’ul as Tsani tahun 1252 H.
[5] Ibn ‘Abidin, Radd al Muhtar ‘ala al Durr al Mukhtar, (Beirut: Dar al Fikr), cet. II, Juz. 4, hal. 262
[6] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al Sunnah: Bab fi Qital al Khawarij, (beirut: Mu’assasah al Jinan)
[7] Ahmad Zaini Dahlan, Fitnah al Wahhabiyah, (Turki: Wafq al Ikhlas), hal. 54
[8] Fitnah al Wahhabiyah, hal. 4
[9] Muhammad al Najdi, as Suhub al Wabilah, hal. 276
[10] Ahmad Zaini Dahlan, Khulashah al Kalam, hal. 229-230
[11] Koran al Shafa, terbitan 12 Juni 1934 edisi 906 dan juga disebutkan dokumen al Hasyimiyah
[12] Ibn Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, (Riyadh: Dra ‘alm al Kutub), Juz. 4, hal. 384
[13] Majmu’ al Fatawa, juz. 5, hal. 131 dan 415
[14] Abu Manshur al Baghdadi, Beliau adalah Abdul Qadir ibn Thahi . Beliau adalah salah satu ulama bermadzhab Syafi’i, di antara muridnya adalah Abu Bakar al Baihaqi, Abul Qasim al Qusyairi. Di antara karyanya adalah kitab Ushul ad Din dan al Farqu baina al Firaq. Abu Utsman as Shabuni mengatakan: “al ustadz Abu manshur adalah salah seorang imam ulama ushul yang wafat di Isfirayin tahun 429 H”.
[15] Abu Manshur al Baghdadi, al Farq bain al Firaq, (Beirut: Dar al Ma’rifah), hal. 333
[16] Al Farq bain al Firaq, hal. 333
[17] Lihat Tanbihat fi al Radd ‘ala Man Taawwala al Shifat, (Riyadh: al Riasah al Ammah liidarah al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’), hal. 84
[18] Al Baihaqi, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad ibn al Husain ibn Ali ibn Abdullah ibn Musa al Baihaqi al Khusraujirdi. Dilahirkan tahun 384 H. Beliau adalah seorang ulama hadits yang berakidah Asy’ariyah dan bermadzhab Syafi’i, pada masanya beliau tidak ada tandingannya dalam bidang hadits, pemahaman dan kezuhudan. Ad Dzahabi mengatakan: “Apabila al Baihaqi mau membuat madzhab sendiri maka dia bisa membuatnya karena keluasan ilmunya dan pengetahuannya tentang ikhtilaf”. Diantara karyanya yang sangat terkenal adalah as Sunan al Kubra, al Asma wa as Shifat, al I’tiqad, Syua’bul Iman, Manaqib as Syafi’i dan lainnya. Wafat pada tahun 458 H.
[19] Al Baihaqi, al I’tiqad, (Beirut: ‘Alam al Kutub), hal. 72
[20] Shalih ibn Fauzan dan Ibn Baz, Tanbihat, hal. 34
[21] Lihat Abu Nu’aim, Hilyah al Auliya, juz. 1, hal. 73
[22] Lihat Ibn Taimiyah, Talbis al Jahmiyah, (Makkah al Mukarramah), Juz. 1 hal. 427
[23] Ibn Taimiyah, Muwafaqah Sharih al Ma’qul li Shahih al Manqul, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah), juz. 2, hal. 29-30
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Anda sopan kamipun segan :)