RMOL. Jika menyimak konsep maritim yang dikemukakan capres Jokowi dalam debat capres sesi ketiga tadi malam, ada beberapa hal yang terdengar lucu dan menarik untuk dikritisi.
Misalkan Tol Laut, mengutip pernyataan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy maupun politisi Partai Gerindra, Iwan Sumule, istilah itu jelas salah. Ketua Umum Indonesia National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto juga menganggapnya tak masuk akal. Begitu pula Direktur Indonesia Maritime Instutute, Y. Paonganan yang menyebutnya sebagai konsep bualan semata. Dalam analisanya, konsep Tol Laut Jokowi baru bisa terwujud setelah lima kali jabatan presiden mendatang.
"Yang kedua, soal penjualan Indosat di mana Jokowi menyatakan dalam debat bahwa Indosat dijual oleh pemerintah Megawati karena krisis ekonomi tahun 1998. Di sini Jokowi lupa bahwa penjualan Indosat terjadi pada tahun 2002 dan Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi, karena tahun 2002 Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 3,66 persen (walau tidak sebesar pertumbuhan ekonomi di era Presiden SBY saat ini, 5,21 persen). Bahkan Jusuf Kalla menyatakan penjualan Indosat merupakan kesalahan pemerintahan Megawati," papar Iwan Sumule kepada Rakyat Merdeka Online, Senin pagi (23/6).
Yang ketiga, soal drone, menurut dia, tidak realistis karena selain harganya yang sangat tinggi, teknologi itu juga masih dalam kategori "rahasia". Dalam bahasa sindiran Dr A. Riza Wahono melalui akun facebook-nya, mungkin yang dimaksud Jokowi itu 'drown' , kelelep seperti Jakarta yang kebanjiran .
Dan yang keempat, soal Laut China Selatan yang dibilang Jokowi bukan merupakan batas wilayah Indonesia. Di sini capres Jokowi lupa bahwa pulau Natuna yang sedang di klaim China berada di Laut China Selatan.
"Bagaimana mau mempertahankan Wilayah NKRI, jika tidak mengetahui batas wilayah negara kita? Dan kesalahan pemerintah Megawati," tegas Iwan Sumule.
"Ini tidak boleh terulang lagi, di mana pulau Sipadan dan Ligitan telah lepas dari genggaman Republik Indonesia," imbuh Iwan.
Ia mengharapkan masyarakat nantinya lebih cerdas dalam memilih pemimpin lima tahun mendatang.
"Dan apa pun perbedaan pendapat atau pandangan kita, harus tetap dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, Berbeda-beda tetap 1 juga," tandas Iwan.[wid]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Anda sopan kamipun segan :)